Oleh: Muh Baehaqi )[1]
Mengapa kita
harus bekerja atau belajar?
Ada tiga
paradigma.
Pertama, ketika kita
melihat pekerjaan (=baca kuliah atau belajar) hanya sebagai Job. Jika anda
sebagai pekerja maka alasan anda bekerja adalah karena ingin mendapatkan uang.
Jika anda mahasiswa, maka motivasi anda kuliah adalah untuk mendapatkan nilai
bagus atau bahkan hanya karena memang harus ke kuliah. Soalnya semua anak harus
pergi belajar. Maka, bekerja atau kuliah akhirnya hanya menjadi kewajiban,
bukan sebuah pilihan. Bekerja dan belajar menjadi sesuatu yang harus dilakukan,
bukan sesuatu yang kita senangi. Maka Tugas Kuliah, ulangan, mencatat, menyimak
bagi para mahasiswa hanya akan menjadi aktifitas yang menyiksa. Aktifitas yang
harus segera diselesaikan bagi para pekerja adalah ‘mengingat bos sudah
men-deadline pekerjaan kita’. Atau dosen kita sudah menunggu tugas kita. Kita
sedang melakukan skenario orang lain. Para pekerja menyelesaikan tugas dari
bos-nya dan para mahasiswa belajar karena dituntut oleh dosennya. Celakalah
bagi pekerja yang hanya sekedar melakukan pekerjaan bagi kesenangan dan
kepuasan bos-nya. Apalagi jika bos-nya tidak kompeten. Ketika bos- kita tidak
suka lagi, dia akan melakukan hal yang sama sekali tidak kita duga. Bahkan,
sepandai dan sebagus apapun kita bekerja, dia akan tetap berkata: I don’t
like you, so I don’t need you. Bagi para mahasiswa, tugas yang dikerjakan
dengan maksud untuk memenuhi kewajiban, maka dia akan stress jika kurang paham
bagaimana cara mengerjakannya. Maka yang terjadi bahkan menjurus ke kegiatan
yang tidak jujur, misalnya mencontek karya teman dan membuka catatan ketika
ujian atau ulangan. Maka menurut saya, kita sedang melakukan hal yang berbahaya
dan justru merugikan kita.
Kedua, adalah
melihat pekerjaan sebagai karir. Lumayan bagus pada tahap ini, karena pekerja
memainkan peran sutradara. Pekerja menyusun rencana besar. Setelah saya
melakukan ini, saya akan menduduki posisi A, lalu setelah itu posisi B akan
dapat diraih dan seterusnya. Bagi para mahasiswa, belajar akan mengantar anda
meraih cita-cita, masa depan anda. Apa yang terjadi pada kita? Kita menjadi
sebuah mesin. Kita menikmati penghargaan nominal dari apa yang sudah dilaukan.
Bahkan kita dapat pujian dari yang kita lakukan. Seorang teman yang
berada pada fase ini, mengucapkan sebuah kata pada moment perpisahannya saat
dia resign, tempat ini seperti harimau yang akan menelan saya, maka saya harus
berlari. Saya tahu dia suka melakukannya, meski dengan alasan yang berbeda dia
harus keluar. Saya hanya tersenyum ketika dia berkata begitu, karena saya
pernah merasakannya. Satu hal yang mungkin saat itu tidak dia sadari adalah
saya atau dia sedang kehilangan diri sehingga tidak ada kebahagian.
Mudah2an dia menemukan jalan di tempat berbeda. Ketika berada pada tahap ini,
Saya hanya pulang ke rumah dalam kelelahan yang luar biasa bahkan pekerjaan saya
bawa pulang. Anak-anak tidak bisa menghampiri saya untuk bercengkerama. Suami
sering komplain karena sampai di rumah hanya melihat istri yang kelelahan dan
tidak fokus kepada anak. Bahkan dalam keadaan sakit atau cuti mau melahirkan
sms dan dering telpon harus dilayani. Saya “TIDAK BAHAGIA”. Apakah anda
juga demikian?
Ketiga, yaitu
melihat pekerjaan sebagai calling (panggilan). Pada mulanya kita berpikir bahwa
yang dicari dan harus ditemukan dalam hidup ini adalah kebahagiaan.
Sebagai manusia beragama yang percaya kepada kekuasaan Allah, maka kebahagiaan
kita adalah sesuatu yang sudah ditentukan atas diri kita oleh-Nya. Maka kita
tidak sedang menjalankan skenario kita. Kita sesungguhnya harus menjalani
skenario Allah. Disinilah kata kunci bahwa Bekerja adalah alasan Tuhan
menurunkan kita ke dunia ini dengan sebuah maksud tertentu.Hal ini merupakan
misi hidup dan alasan kita dilahirkan ke dunia ini. Tidak ada cara lain yang
lebih baik untuk membuat kita selalu bersemangat dalam bekerja kecuali kita
melihat pekerjaan/belajar sebagai sebuah panggilan hidup (calling).
Bekerja/belajar hanya sebagai upaya menyenangkan orangtua atau menyenangkan
bos, nilai pekerjaan/belajar yang kita lakukan berada di luar diri kita. Karena
yang kita inginkan adalah prestasi, uang atau kesenagan orangtua. Tidak ada
yang salah dengan ini. Namun, bayangkan jika kita melihat bahwa belajar/
pekerjaan adalah diri kita. Pekerjaan / belajar adalah identitas diri kita.
Maka ibadah tersebut benar-benar lahir dari dalam kesadaran diri. Mungkin inilah
yang disebut ibadah yang ikhlas. Bagi para mahasiswa yang mesti back to campus,
Saya ingin berpesan: mari kita melihat kampus sebagai sebuah tempat bagi anda
untuk belajar memenuhi anda sebagai manusia seutuhnya pada saatnya nanti.
[1]Muh Baehaqi adalah Dosen tetap di STAINU
Temanggung, yang sekarang menjabat sebagai Ketua periode: 2016 – 2020.
0 Komentar