Oleh : A.Syarif Yahya
Setidaknya 80 kali Al-Quran menyebut
kata ilmu, baik dalam bentuk definitif (ma’rifat) maupun tidak (nakirah).
Itu belum termasuk kata turunan dari ilmu yang mencapai kata ratus. Lalu
jika kita mukabalahkan dengan dua saudara tua Al-Quran – Perjanjian Lama dan
Baru – kita nyaris tidak akan menemukannya. Atau jika ya, maka tidaklah lebih
dari hitungan jemari.
“Mata kalian nyaris tidak akan
menemukan kata-kata semisal: ilmu, hikmah, burhan, fikru, atau aqlu, dalam
pagina-pagina Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Tapi akan menemukan banyak
dalam Al-Quran”. (Al-Qardhawi,
Ar-Rasul wa Al-Ilmu).
Protestanisme adalah
agama amal tanpa ilmu dan Yudaisme adalah agama ilmu tanpa amal. Sementara Islam
adalah agama ilmu dan amal, sebagaimana maklum kita saksikan bagaimana pesan-pesan
Al-Quran secara aktif mengintervensi seluruh relung kehidupan manusia. Baik duniawi
maupun ukhrawi.
Nah, ilmu dalam Al-Quran
selalu dibahasakan secara am tanpa spesifikasi tertentu. Itu menunjukkan bahwa
ilmu yang dikehendaki Al-Quran bukan semata ilmu ritual peribadatan saja,
tetapi segala ilmu yang membuahkan kebaikan dunia dan akhirat sekaligus. Bukan
salah satunya, tapi keduanya!
Malah, ilmu yang kali
pertama diberikan Allah kepada manusia bukanlah ilmu kultus dan ritus yang
ukhrawi, tetapi ilmu duniawi tentang bagaimana seharusnya manusia hidup di
dunia: “Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya,”
(QS: Al-Baqarah [2]: 31). Pengajaran nama-nama benda, bukanlah bagian dari
mekanisme peribadatan, tetapi murni ilmu duniawi dalam rangka pengenalan.
Begitu pun nabi-nabi
selanjutnya. Mereka dibekali dua ilmu sekaligus: duniawi dan ukhrawi:
Sebut saja, Idris ‘bapak
peradaban’. Kita mengenalnya sebagai nabi yang menjahit, yang pertama menunggang
kuda, mengenalkan musim, arah, dan lain sebagainya. Kemudian Nuh ‘bapak
tekhnologi’, ia diberi ilmu merancang, membuat, dan mengemudikan safinah. Ibrahim
kita sebut sebagai ‘bapak arsitektur’. Ia dan putranya diberi ilmu merenovasi
Kabah. Yusuf kita sebut sebagai ‘ekonom handal’, ia menyelamatkan Mesir dari
paceklik tujuh tahun, dengan terobosannya ‘metode mutakhir penyimpanan gandum’.
Daud kita kenal sebagai ‘bapak industri’, ia mendirikan pabrik zirah dan
perlengkapan perang berbahan besi. Sulaiman kita sebut sebagai politikus hebat.
Lalu Isa kita sebut sebagai ‘bapak kedokteran’.
Sekarang, mari kita runut
hadis al-ulama warasatul anbiya (ulama adalah pewaris nabi). Kata alim
berarti pandai. Ulama adalah bentuk jamak darinya. Jika kita baca
literatur Timur Tengah, kata alim dan ulama diperistilahkan bagi kalangan
cendekia secara umum, mencakup para pandai bidang apapun, bahkan pula mencakup muslim
dan non muslim. Plato, Aristotales,
Socratres adalah tamsilnya, mereka disebut sebagai ulama dalam
peristilahan penulis Timur Tengah.
Jadi, ulama dalam
arti khas dan sempit sebagai kiai atau ahli bidang agama, sepenuhnya adalah
istilah Indonesia. Adapun penulis Timur Tengah, memperistilahkan ulama secara
am. Lalu bagaimana ulama dalam peristilah Al-Quran? Begini:
Sesungguhnya yang takut kepada Allah
di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Pengampun. (Qs Fathir [35]: 28).
Perhatikan ayat di atas. Ulama
dideskrisikan secara jelas sebagai orang yang memiliki khasyah atau rasa
takut kepada Allah. Maka jika kaitkan etimologi dengan terminologi, kita bisa
mendefinisikan ulama sebagai: orang yang memiliki pengetahuan yang pengetahuan mampu
melahirkan rasa takut kepada Allah.
Sebesar apapun serban kiai, jika ia
tidak takut kepada Allah, maka ia bukan ulama menurut devinisi Al-Quran.
Sebaliknya, para pandai dan praktisi bidang lain semisal; dokter, arsitektur,
pedagang, petani, politisi, guru, pejabat, dan lain sebagainya, jika kepandaian
mereka mampu mengantarkan mereka kepada khasyah, maka mereka adalah
ulama menurut devinisi Al-Quran.
0 Komentar