Selama masa pandemi tiba-tiba semuanya terhenti, pasrah dan tidak ada dayanya. Itulah sedikit perasaan dan pandangan yang diamati penulis. Tidaklah lain, sebagai mahasiswa yang hidup dalam ruang organisasi pasti merasakan ketiadaan daya untuk bergerak lebih, tidak bisa moving forward karena dibatasi oleh waktu dan tempat.
Bagi teman-teman yang aktivis, sungguh merasakan ketidaknyamanan dalam keadaan ini, yang dimaksud ketidaknyamanan dalam hal ini “dengan keadaan yang terbatas baik waktu, ruang, dan tempat”, bukan ketidaknyamanan dengan pasangannya yang membuat bilik story penulis penuh dengan cerita kerinduan. Karena saking pluralnya negeri ini, mahasiswa yang sudah terbiasa tidak aktif dalam organisasi mungkin merasa biasa saja, tidak ada bedanya dengan hari-hari normal biasanya, mungkin hanya gelisah tidak bisa keluar dari rumah.
Namun inilah, kenyataan yang sebenarnya dalam paradigma berfikir mahasiswa yang aktif dan mahasiswa yang pasif jelas nyata bedanya. Keduanya sama-sama gelisah, mahasiswa pasif gelisah karena tidak bisa main, keluar rumah, pergi ke café atau apa yang lain lah, sementara mahasiswa aktif gelisah karena tidak bisa memberi manfaat kepada yang lainnya, baik melalui kegiatan, pelatihan atau hanya sekedar diskusi kecil. Memang benar yang dikatakan para filusuf bahwa “kedewasaan bukan bergantung pada umur, akan tetapi pengalaman dan masalah yang akan mendewasakannya”. Sama-sama berumur 20 tahun, yang A pasif dalam gerakan, yang B aktif dalam gerakan, apakah kedauanya ada perbedaan? Meski umurnya sama? Coba dijawab sendiri.
Penulis tidak pernah merasa paling benar dan patut dicontoh, esensi dari sebuah tulisan ini untuk didiskusikan bersama, terkhusus bagi mahasiswa yang sekampus dengan penulis. Kembali lagi ke masa pandemic ini, semua ORMAWA (Organisasi Mahasiswa) sudah reorganisasi, mulai dari terbawah sampai teratas, semua rampung! Tapi apa yang harus dilakukan setelah reorganisasi ini? Ini yang menjadi pertanyaan setiap mahasiswa semua.
Mahasiswa kita ini terlalu sering membahas kuantitas (jumlah) dibanding berdiskusi kualitas (kemampuan), maka pada akhirnya bagi pelaku pertimbangan kuantitas, yang ada hanyalah gelisah, gelisah dan gelisah. Padahal beda dengan itu, artinya, secara kualitas SDM mulai dari SEMA (senat Mahasiswa) sampai HMP (Himpunan Mahasiswa Prodi) belum mempunyai mental yang kuat, terbukti dengan minimnya massa dalam ORMAWA, dibarengi hilangnya gairah semangat.
Menjadi sia-sia bila kita menyalahkan keadaan. Sesekali, coba buka buku-buku itu, coba dengarkan cerita-cerita itu, bagaimana dakwah para nabi, Rasul. Susahnya minta ampunn!! Lah kok kita yang kelas mahasiswa. Namun semua itu bukan salah semua para ketua ORMAWA, bukan salah Mahasiswa, bukan salah pimpinan. Hanya keterlaluan saja jika sebagai mahasiswa tidak mau berorganisasi, terus mau berkegiatan apa? Wong mahasiswa itu kan akademisi. Dan terlebih lagi sebagai pimpinan tidak mendukung keberlanjutan organisasi, ya rampung kampusnya!. Sekali lagi, bukan bermaksud menyalahkan siapa-siapa, hanya kita semua belum sepaham, belum mengerti, atau mungkin hanya sekedar meneruskan tanpa ada program dan tujuan.
Sekali-kali mbok ya mahasiswa itu diajak berdiskusi, audiensi rutinan yang diselenggarakan oleh pimpinan kampus, biar mahasiswa itu bisa bercerita keadaan yang sebenarnya, dan kampus tau apa yang menjadi kebutuhan mahasiswa. Lhah periode sebelumya nyatanya mahasiswa yang mengundang audiensi, mahasiswa yang membuat surat undangan, namun pada rapat audiensi yang hadir hanya perwakilan dari pimpinan, itu pun tidak bisa memutuskan. Gimana mahasiswa tidak geram? Bagaimana kita bisa lebih baik dari kemarin kalau tidak disinergikan?! Eh jangan bahas itu, biarlah menjadi urusan petinggi-petinggi kita saja.
Lanjut, Semakin banyak kayu bakar, semakin besar api yang menyala, analogi yang cukup bahwa kita masih kurang kayu bakar untuk menyalakan organisasi, sampai mahasiswa. Organisasi kampus akan lebih baik jika pengurus-pengurusnya mempunyai bekal ilmu keorganisasian, management organisasi, sejarah organisasi, dan gemar berdiskusi. Secara teroritis, menta organisatoris akan medarah daging diimbangi dengan ilmu pengetahuan. Dalam kita taklim muta'alim “afdolul ilmu, ilmu al-haal” , jadi sekarang mahasiswa yang sedang berorganisasi, sebaik-baiknya ya mencari ilmu untuk kebaikan organisasi.
Penulis sengaja tidak memberikan solusi yang konkret, agar kita bisa lebih banyak berbincang dalam ruang diskusi, baik secara umum keorganisasian atau secara personal organisasi. Inilah rumah Organisasi kita, rumah yang harus kita bangun, meski sederhana. Kita tidak perlu khawatir, kita punya Aswaja sebagai manhaj al fikr, landasan berfikir kita dalam menjalankan roda organisasi, lebih jauh dari itu, kita punya Nilai Dasar Pergerakan. Jadi? jangan khawatir! Kedepan, kita harus move setidaknya hari esok lebih baik dari hari ini.
Ketika saya baca instastory, memberi informasi bahwa kampus dulu bisa besar karena mahasiwanya, apakah paradigma ini akan berubah? Menjadi “mahasiswa besar karena kampusnya” tentu tidak salah, karena banyak tokoh besar yang lahir dari kampus besar, tapi apakah kampus kita tidak bisa besar? Tanya mahasiswanya!
-ditulis oleh Ahmad Farichin
(Senat Mahasiswa STAINU Temanggung 2020-2021)
0 Komentar