Adanya wabah COVID-19 membuat masyarakat sadar betapa pentingnya pelaksanaan pembelajaran secara tatap muka. Dengan pembelajaran tersebut tentunya kita bisa mendapat ilmu yang beragam seperti belajar mengasah potensi diri, kedisiplinan, kecerdasan, komunikasi dan bersosial sehingga seseorang yang berpendidikan ketika pulang ke kampung halamanya diharapkan mampu menjadi garda terdepan dalam memberi pelayanan terhadap masyarakat dengan sebaik-baiknya dan pada akhirnya mampu megharumkan nama Indonesia.
Namun pada mulai ditetapkannya pandemi di Indonesia, berbagai keresahan dirasakan oleh hampir semua sektor baik ekonomi, pendidikan, pertanian dan sebagainya. Dengan adanya hal tersebut, Menteri Pendidikan memutuskan untuk membuat beberapa aturan tentang pendidikan di era pandemi. Adanya tersebut tentunya memiliki sisi positif maupun negatif bagi kelangsungan pendidikan di Indonesia.
Polemik Tak Kunjung Usai
Suatu hal yang terjadi di dunia ini pasti menimbulkan pengaruh bagi hal yang lain. Sama halnya seperti peraturan yang di buat oleh Menteri Pendidikan, Nadiem Anwar Makarim, yang menetapkan bahwa selama pandemic pendidikan tidak dapat dilaksanakan tatap muka atau daring tentulah menimbulkan polemik yang tak berujung pada dunia pendidikan. Peserta didik misalnya, dengan adanya pembelajaran berbasis online siswa harus menggunakan handpone ataupun komputer yang diharapkan bisa tetap belajar. Namun bila hal tersebut tidak diimbangi dengan pegawasan yang baik, bukan tidak mungkin, bisa jadi anak lebih asik bermain game, menonton tv dan mainan di lingkungan rumah sehingga pembelajaran tidak dapat berlangsung secara maksimal.
Keadaan tersebut juga dapat dikaitkan dengan psikologi dan tingkat kedisiplinan peserta didik. Jika biasanya harus bangun pagi serta bergegas berangkat sekolah, kini bangun tanpa jam yang menentu sehingga kedisiplinannya menurun. Dari sisi psikologi, dapat membuat peserta didik lebih susah untuk diarahkan, tertekan dengan keadaan karena tidak berkumpul dengan teman-teman, belajar hanya pada saat mengerjakan tugas bahkan bisa jadi ia tidak mau belajar dengan orang tua sehingga banyak menimbulkan pertengkaran dalam keluarga.
Begitu pula dari psikologi orang tua, ibu misalnya, mereka banyak mendapat tekanan karena harus mencuci, memasak, bersih-bersih sekaligus menggantikan posisi guru di rumah. Bila kompetensi ibu kurang sesuai dengan bidang yang dipelajari anak tentunya dapat mengakibatkan permasalahan. Jika tak menemukan solusi yang tepat, hal itu akan membuat ibu cenderung menyalahkan anak dan guru apabila ada permasalahan dalam pembelajaran.
Belum lagi sang ayah yang setiap harinya mencarikan nafkah sehingga harus bekerja ekstra untuk memenuhi kebutuhan keluarga meliputi kebutuhan anak, kebutuhan kuota internet dan sebagainya. Di masa yang tak bisa diaktakan mudah ini, sebagian besar masyarakat pengeluarannya akan terus meningkat sementara pemasukan menurun. Bila terjadi terus-menerus dan tidak segera dicarikan solusi, hal itu menjadi pemicu timbulnya permasalahan dalam keluarga dimulai dari perasaan marah, tertekan, bahkan stres atau depresi.
Akhiri Polemik Berkepanjangan
Penulis rasa polemik yang terjadi tidak akan selesai kecuali ada yang mau menyelesaikan dan berani untuk membuat gerakan. Terlebih lagi, bagaimana seseorang memandang polemik yang sedang terjadi. Sampai saat ini pemerintah masih belum memperbolehkan kegiatan belajar mengajar secara tatap muka. Akan tetapi peserta didik banyak yang jalan-jalan ke mall, pasar, bahkan tempat wisata tidak ditutup dengan dalih megunakan protokol kesehatan. Hal ini menunjukan bahwa adanya kemandegan sektor pendidikan adalah disengaja. Sebuah pertanyaan besar muncul “mengapa?”. Semua sektor masih berjalan walau dengan segala keterbatasannya, mengapa belajar tidak boleh? Biarkan sekolah menggunakan protokol kesehatan, asalkan siswa secepatnya bisa melaksanakan pembelajaran secara tatap muka.
Semua pihak diam dan menuruti peraturan pemerintah yang sengaja mematikan pendidikan di Indonesia, penerus bangsa ini sengaja dibuat bodoh dengan dalih peraturan kesehatan, tak masuk akal boleh keluyuran tapi tak boleh belajar di sekolah. Bila hal ini terjadi 1 tahun, 2 tahun atau bahkan 5 tahun kedepan maka jelas para pemuda-pemudi yang akan meneruskan bangsa ini hanya dicekoki ketakutan dan ketegangan sehingga mematikan kreativitas dalam segala bidang. Pendidikan kini hanya menjadi simbol, masih baik pendidikan 10 sampai 20 tahun yang lalu walau dengan segala kekurangan fasilitas tapi tetap berjalan.
Oleh karena itu, menurut penulis, solusi untuk mengakhiri polemik yang berkepanjangan dalam dunia pendidikan adalah dengan memulai kembali pendidikan yang seperti biasanya (tentunya bila di masa pandemi tetap dengan menggunakan protokol). Sebuah harapan muncul dari orangtua peserta didik dan guru agar bangsa Indonesia lekas sembuh dari “penyakit” yang dibuat anak bangsanya sendiri. Semoga mentri pendidikan bisa memberi kebijakan dan terobosan agar proses pembelajaran di lakukan secara tatap muka meski dengan protokol kesehatan.
Meskipun di era pandemi siswa benar-benar belajar secara merdeka, akan tetapi apakah siswa sudah bisa memerdekakan belajarnya sendiri? Bisa jadi. Tapi yang terpenting adalah pertemuan antara guru dan siswa yang bisa menambah nilai karakter bagi siswa. Kalau karakter siswa di Indonesia ini semakin hari semakin surut, bagaimana nasib bangsa di masa depan?
-ditulis oleh Mustofa
Mahasiswa Prodi PAI STAINU Temanggung
0 Komentar