Ciptakan Karakter Al-Qur'an di Era Distribusi Melalui Pendekatan Ideal-Spiritual

Pentingnya Berkarakter Al-Quran pada Era Distribusi

Oleh: Mustofa Luthfi, mahasiswa STAINU Temanggung

Sumber gambar: darunnajah.com

Al-Qur’an merupakan pedoman dan tuntutan hidup umat Islam, baik sebagai individu maupun sebagai umat. Sebagai pedoman dan tuntutan hidup, al-Qur’an diturunkan Allah bukan hanya untuk sekedar dibaca secara tekstual, tetapi al-Qur’an untuk dipahami, dihayati serta diamalkan dalam sosial kehidupan bermasyarakat. Ayat pertamanya diwahyukan ketika Nabi sedang berkhalwat di Gua Hira’ di gunung cahaya (jabal al-nur) dekat Mekkah, dan ayat terakhir diturunkan hanya beberapa waktu sebelum wafatnya. Ayat-ayat itu di hafal oleh banyak sahabat dan secara lambat laun mulai dituliskan oleh sahabat-sahabat seperti ‘Ali dan Zaid. Akhirnya pada masa pemerintahan ‘Utsman, khalifah ketiga, teks definitif yang didasarkan pada salinan-salinan awal dan konfirmasi dari orang-orang yang pernah mendengar ayat-ayat itu dari mulut Nabi sendiri, disalin dan dikirim keempat penjuru dunia Islam.

Al-Qur’an dijadikan sebagai alat bedah untuk membedah segala macam permasalahan yang terjadi kala itu baik di masyarakat maupun permasalahan kepemerintahan. Bahkan Abu Bakar pernah berkata: “Kalau seandainya aku mencari tali kudaku, niscaya akan kutemukan dengan Al-Qur’an”. Begitulah, kuatnya pemahaman para sahabat terhadap al-Qur’an sehingga hidupnya menjadi lebih tertata dengan pedoman al-Qur’an. Namun saat ini, justru ada sebagian dari umat islam Indonesia yang berpikiran sekuler dan liberal, ia tidak menjadikan al-Qur’an sebagai rujukan utama. Pisau bedah yang mereka gunakan adalah karya-karya ilmuan barat, lalu yang dibedahnya adalah al-Qur’an. Sehingga mereka memahami isi al-Qur’an berdasarkan pemahaman ilmuwan barat. Sehingga pemahaman ini menjadi mengakar dan membudaya dalam lembaga-lembaga pendidikan lalu tentunya memberikan dampak terhadap bangsa dan negara di masa akan datang.

Oleh karenanya, perlu dibangun karakter pendidikan yang berbasis Qur’ani sehingga dapat memberikan dampak Qurani pula pada karakter anak bangsa di masa akan datang. Karakter pendidikan yang berbasis agama akan memberikan warna terhadap karakter bangsa yang Qur’ani di masa akan datang. Rasulullah SAW dan para sahabat kala itu menjadikan al-Qur’an sebagai pedoman utama dalam menjalani kehidupan. Bahkan ketika Aisyah r.a. ditanya mengenai akhlak Rasulullah, ia menjawab “Akhlak beliau adalah Al Qur’an.” [Hadits diriwayatkan oleh An Nasai]

Jika kita amati amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 dalam Bab 1, pasal 1 ayat 1 disebutkan beberapa kata kunci yang sebenarnya mengarah kepada nilai-nilai agama seperti spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, masyarakat (sosial), yang mana seluruh poin ini diajarkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul.

Sumber gambar: merdeka.com

Karakter Bangsa Qur’ani

Karakter bangsa yang Qur’ani dilahirkan dari pendidikan yang berkarakter Qur’ani pula. Maka dari itu, negara harus memberikan ruang gerak pendidikan agama lebih luas dalam undang-undang dan kurikulum nasional. Sebab, memang sudah menjadi fakta bahwa anak didik di Indonesia lebih banyak menempa pendidikan di pendidikan umum dibandingkan dengan pendidikan agama seperti pesantren atau madrasah.

Pendidikan karakter telah lama menjadi bagian inti dari sejarah pendidikan itu sendiri. Pendekatan idealis dalam masyarakat modern memuncak dalam ide tentang kesadaran. Lahirnya pendidikan karakter bisa dikatakan sebagai sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme oleh filsuf Prancis, Auguste Comte. Foerster menolak gagasan yang merendahkan pengalaman manusia pada bentuk murni hidup alamiah. Dalam sejarah perkembangannya, manusia tunduk pada hukum-hukum alami, namun kebebasan yang dimiliki manusia memungkinkan manusia untuk menghayati kebebasan dan pertumbuhannya dalam mengatasi tuntutan fisik dan psikis semata. Manusia tidak semata-mata taat pada aturan yang sifatnya individu dalam tata aturan nilai-nilai moral. Pedoman nilai merupakan kriteria yang menentukan kualitas tindakan manusia di dunia.

Dinamika pemahaman pendidikan karakter berproses melalui tiga momen, yaitu historis, reflektif, dan praktis. Momen historis yaitu usaha merefleksikan pengalaman umat manusia yang bergulat dalam menghidupi konsep dan praksis pendidikan khususnya dalam jatuh bangun mengembangkan pendidikan karakter bagi anak didik sesuai dengan konteks zamannya. Momen reflektif, yaitu sebuah momen yang melalui pemahaman intelektualnya, mencoba melihat persoalan metodologis, filosofis, dan prinsipil yang berlaku bagi pendidikan karakter. Dan yang terakhir momen praktis, yaitu dengan bekal pemahaman teoritis-konseptual itu, manusia mencoba menemukan secara efektif agar proyek pendidikan karakter dapat efektif terlaksana di lapangan.

Sementara jika dilihat dari paradigma Islam maka pendidikan karakter sebenarnya adalah bagian dari  pendidikan akhlak. Akan tetapi ia begitu booming seolah mengalahkan ketenaran pendidikan akhlak itu sendiri saat ini. Kita melihat bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan untuk meninggikan marwah bangsa di antara bangsa-bangsa lainnya. Namun, marwah bangsa yang mulia adalah bangsa yang mana masyarakatnya memiliki keseimbangan kehidupan antara ruhani dan jasmani, dunia dan akhirat tanpa ada ketimpangan.

Pendidikan Barat yang hanya menumpukan pada aspek keterampilan saja saat ini mulai mengikuti arus spiritual karena produk pendidikan sebelumnya menghilangkan arah kehidupan yang sebenarnya mereka idam-idamkan. Banyak orang kaya yang akhirnya stres berat dan para pengusaha kelas atas yang merasa jenuh dengan kehidupannya karena tidak menemukan kebahagian yang sesungguhnya.

Dengan begitu, Islam menawarkan solusi untuk keseimbangan kehidupan itu melalui sumber utama yang sempurna yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw., sebab Islam telah membuktikan akan kecermerlangan ‘Madinah al-Munawwarah’ dengan al-Qur’an dan Sunnah sebagai parameter negara. Oleh sebab itu, pendidikan karakter mesti harus berlandaskan pada sumber tersebut sehingga bermunculan ‘Manusia-manusia Qur’ani’ yang mampu beradaptasi dan berdialog dengan zaman tanpa menanggalkan identitas ketauhidannya.

Posting Komentar

0 Komentar