Oleh Anisa Nurul Shanti Kusuma Wardani, mahasiswi ES INISNU Temanggung
New Normal mungkin saja sudah dari dulu digunakan untuk menjelaskan fenomena perubahan di dunia. LaBarre tahun 2003 mengulas pendapat Roger McNamee, bahwa New Normal selalu akan terjadi di sepanjang kehidupan manusia. Oleh karenanya, manusia harus secara sabar belajar dan terus beradaptasi untuk mengembangkan respon yang tepat dalam menghadapi tuntutan perubahan yang terjadi. McNamee menambahkan, pengertian “normal” dari new normal berkaitan dengan skala waktu, dimana manusia akan berupaya mengembangkan perilaku yang sesuai untuk membuat kehidupan menjadi lebih baik dalam jangka panjang.
Sedangkan pengertian “new” dari new normal erat kaitannya dengan perkembangan teknologi. Hal ini misalnya terlihat dari buku yang ditulis Peter Hinssen, The New Normal, yang menggambarkan dampak teknologi digital terhadap perubahan proses dan perilaku bisnis.
Rich Miller dan Matthew Benjamin juga menyinggung tentang new normal untuk menjelaskan dampak krisis ekonomi dunia 2007-2008 dan kemudian menjadi populer untuk menjelaskan dampak resesi global dan wabah COVID-19. Di dalam new normal hal-hal yang terkesan tidak normal atau belum menjadi kebiasaan menjadi kenormalan baru akibat situasi-situasi tersebut.
Terlepas dari makna dan asal usul istilah new normal, atau kenormalan baru, merupakan keniscayaan bahwa kita sedang mempraktikkan perilaku yang tidak biasa kita lakukan sebelum era COVID-19. Perilaku yang kita praktikkan tersebut tidak hanya berupa respon jangka pendek terhadap wabah COVID-19 tetapi lebih luas lagi merupakan respon adaptif yang berjangka panjang.
Apakah semua perilaku tersebut menjadi sasaran perubahan perilaku dalam rangka kenormalan baru? Tentu saja iya dan penting, tetapi hanya sebagian kecil, berjangka pendek, dan mungkin bertahan sambil menunggu terbentuknya imunitas dan ditemukannya obat atau vaksin penangkal COVID-19.
Menurut Hongyue dan Rajib, dampak pandemi terhadap perekonomian, sosial, keamanan, serta politik akan mempengaruhi kondisi psikologis dan perubahan perilaku yang sifatnya lebih luas dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Perubahan perilaku tersebut mencakup perilaku hidup sehat, perilaku menggunakan teknologi, perilaku dalam pendidikan, perilaku menggunakan media sosial, perilaku konsumtif, perilaku kerja, dan perilaku sosial keagamaan.
Menurut Kotler, wabah COVID-19 akan membuat masyarakat mengadopsi perilaku anti konsumerisme. Mereka akan memilih hidup lebih sederhana (Life Simplifiers), dengan hanya membeli barang-barang yang dibutuhkan dalam jumlah yang sesuai dengan kebutuhan.
Masyarakat juga akan mulai mendukung gerakan degrowth, yang memandang konsumsi penduduk dalam berbagai sektor sudah lebih besar dari yang bisa disediakan oleh bumi. Selain mempertimbangkan untuk menjadi vegetarian, masyarakat juga akan lebih ramah lingkungan dan sebisa mungkin mendaur ulang atau memperbaiki atau mendekorasi ulang atau mendonasikan barang-barang atau makanan yang masih layak.
Sebagai konsekuensi lanjutannya, keberhasilan suatu bangsa tidak lagi hanya diukur dari Growth Domestic Product (GDP) tetapi juga Growth Domestic Happiness (GDH) atau Growth Domestic Well-being (GDW).
COVID-19 berdampak signifikan terhadap dunia usaha sehingga karyawan diberhentikan atau dirumahkan atau bekerja dari rumah. Yang pasti mereka akan membutuhkan penyesuaian perilaku bahkan kalaupun mereka mendapatkan kembali pekerjaan mereka dan beraktivitas seperti biasa. Selama bekerja mereka harus tetap patuh dan menjalankan perilaku sesuai protokol kesehatan.
0 Komentar