Foto via unsplash |
oleh Puteri Anggita Dewi,
Mahasiswi PIAUD V
INISNU Temanggung
Mendidik anak dalam era baru ini memiliki tantangan tersendiri. Pasalnya kebijakan-kebijakan di masa pandemi terus bermunculan, sehingga tripusat pendidikan harus pandai dalam menyesuaikan diri.
Dalam tripusat pendidikan racikan Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa tiga lingkungan pembentuk pendidikan ada di lingkungan sekolah/lembaga pendidikan, di lingkungan keluarga/rumah, dan di masyarakat.
Peranan pendidik yang biasanya dipegang oleh guru di sekolah kini terbatas, sehingga orangtua memiliki tanggungjawab yang lebih dalam mendidik putra-putrinya.
Pendidik PAUD dalam melaksanakan pendidikan umumnya berpedoman sesuai dengan ketentuan dalam Permendikbud No.137 tentang Standar Nasional PAUD, standar tingkat perkembangan anak yang harus dicapai anak meliputi lima aspek kemampuan yakni nilai agama dan moral, fisik motorik, kognitif, bahasa, sosial emosional dan seni.
Kemampuan kognitif anak merupakan salah satu aspek kemampuan yang urgent untuk dikembangkan, karena berkaitan dengan penghubungan sebab-akibat. Bila stimulasi kognitif biasanya bisa langsung diberikan oleh guru di sekolah, kini para orangtua di rumah pun ikut andil dalam melaksanakannya.
Selama ini persepsi orang tua tentang pembelajaran anak usia dini umumnya identik dengan anak harus bisa membaca, menulis, berhitung secara baik dan benar. Padahal bila dikaji lebih dalam lagi kemampuan kognitif jauh lebih luas daripada hal tersebut.
Perkembangan kognitif sebagai salah satu aspek perkembangan yang harus diberikan stimulasi pada anak usia dini memiliki beberapa indikator yang terbagi dalam tiga lingkup aspek perkembangan yaitu pertama, belajar pemecahan masalah; kedua, berfikir logis dan ketiga, berfikir simbolik. Tentunya dalam melaksanakan hal tersebut, harus disesuaikan dengan karakteristik anak usia dini. Oleh karena itu, orangtua pun harus belajar tentang strategi-strategi dalam melakukan upaya pendidikan.
Pertama, ciptakan lingkungan yang menyenangkan. Dari lingkungan outdoor misalnya, kita dapat mengajak anak untuk mengamati fenomena alam disekitarnya secara langsung. Kita bisa membangun diskusi dengan melakukan tanya jawab sehingga secara tidak langsung anak belajar pemecahan masalah.
Kedua, berikan keteladanan. Anak belajar dari apa yang ia alami bukan apa yang kita katakan. Dengan mengajak anak untuk melakukan aktivitas yang positif, ia akan dengan sendirinya melakukan tanpa kita repot menyuruhnya. Hal ini dapat diselipkan dalam kegiatan sehari-hari. Seperti misalnya pada saat mau makan, kita ajak dia berdoa sebelum makan bersama. Bila dirasa anak sudah bisa melafalkan doa tersebut, maka ia diberi giliran untuk memimpin doa. Hal ini dapat mendorong anak untuk berfikir logis, kalau orangtua saja bisa mengapa ia tidak.
Ketiga, berikan aktivitas yang menarik. Dalam aktivitas tersebut, biarkan anak dengan bebas melakukan, memegang, menggambar, membentuk, ataupun membuat dengan caranya sendiri sehingga terjadi proses pembelajaran yang berpusat pada anak (student centered). Misalnya dengan bermain peran, kita bisa mengajaknya untuk memperagakan adengan jual-beli. Adakalanya kita jadi penjual, adakalanya kita jadi pembeli. Secara tidak langsung anak akan tahu bahwa kalau menginginkan sesuatu artinya kita harus mengusahakan sesuatu, dan setiap benda yang kita miliki ternyata ada nilainya. Hal ini mendorong anak untuk berfikir secara simbolik.
Adanya pandemi ini menyadarkan kembali arti penting rumah. Lingkungan keluarga/rumah merupakan tempat anak mendapatkan pendidikan yang pertama dan utama. Memaksimalkan peran akan menjadi kunci suksesnya pendidikan. Membangun stimulasi kognitif dengan hal-hal sederhanya dan menyenangkan akan membuat Si Kecil menjadi ceria. Bila anak ceria dan bahagia, tentunya pendidikan akan berjalan dengan lebih sempurna.
0 Komentar