HUKUM TRANSAKSI JUAL BELI

HUKUM TRANSAKSI JUAL BELI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR/BELUM BALIGH.


Gambar : www.sditalhasanah.com

Oleh : Faza Arifiana

Hukum Islam terutama dalam bidang muamalah semakin mempunyai arti penting dalam perkembangan dunia perekonomian yang begitu pesat dengan lahirnya ide-ide baru. Seperti jual beli dalam pasar, online dan lain sebagainya. Sejauh ini tidak hanya orang dewasa yang melakukan transaksi jual beli tersebut, melainkan anak-anak yang masih di bawah umur juga melakukan hal-hal tersebut. 

Jual beli dapat dikatakan sah apabila memenuhi beberapa persyaratan berikut: Pembeli dan penjual sebagai pelaku utama kegiatan wajib berakal sehat dan memiliki kemampuan untuk bertransaksi. Sehingga apabila transaksi dilaksanakan oleh anak kecil serta penderita kesehatan jiwa maka tentu tidak sah.

Dari keterangan di atas dapat kita ketahui bahwa salah satu syarat sah jual beli adalah apabila tidak dilakukan oleh anak kecil (belum baligh). Namun masalahnya, di masyarakat kita sendiri Kita melihat anak kecil yang belum baligh melakukan transaksi jual beli.

Jadi pernyataannya, bagaimana hukum anak yang belum baligh melakukan transaksi jual beli?

Jawabannya adalah sah apabila yang melakukan transaksi adalah anak yang kadang sudah memasuki usia tamyiz, berakal, cakap, namun belum baligh. Maksud dari tamyiz adalah anak yang sudah bisa membedakan baik dan buruk apa yang dilakukan terhadap dirinya dengan tujuan agar tidak terjadi madhorot dalam transaksi jual beli.

Barang yang dibeli anak tersebut barang yang memiliki nilai rendah ( tidak mengandung madhorot) misalnya seperti Jajan permen, jajan makanan yang ada di kantin kantin sekolah atau jual beli anak kecil yang disuruh orang tuanya membeli barang di warung kegiatan transaksi tersebut adalah sah Karna merupakan wujud orang tua dalam mendidik anaknya agar mengenal uang.

Namun jual beli yang dilakukan anak kecil juga bisa berubah menjadi tidak sah , Karna dikhawatirkan akan mendatangkan madhorot Seperti contoh jual beli dalam skala besar, misalkan anak kecil yang belum baligh disuruh membeli perhiasan di toko emas maka transaksi tersebut bisa dikatakan jual beli yang tidak sah karena dapat mendatangkan madharat, dan jual beli perhiasan juga tidak sepantasnya dilakukan oleh anak kecil yang belum baligh.

Adapun dasar landasan hukum akan dibolehkannya transaksi jual beli yang melibatkan anak kecil. Dalam kitab kifayatul Akhyar karangan syekh taqriyudin Al Hushni yang menyatakan:

قلت ومما عمت به البلوى بعثان الصغائر لشراء الحوائج واطردت فيه العادة فى سائر البلاد وقد تدعو الضرورة الى ذلك فينبغى الحاق ذلك بالمعاطة اذا كان الحكم دائر مع العرف مع ان المعتبر فى ذلك التراضى ليخرج بالصيغة عن اكل مال الغير بالباطل فانها دلة على الرضا فاذا وجد المعنى الذى اشترطت الصيغة لاجله فينبغي ان يكون هو المعتمد بشرط ان يكون الماخوذ بعدل الثمن اهـ


Artinya: “Aku berkata: Termasuk dari fakta kejadian umum (balwa) yang berlaku di masyarakat adalah disuruhnya anak kecil untuk membeli beberapa kebutuhan. Adat ini sudah berlaku di semua negara dan seperti sudah berjalan pasti karena kebutuhan (dlarurat). Oleh karenanya, sepatutnya dalam menyikapi hal ini perlu menyamakan hukum masalah ini dengan jual beli mu’athah. Hal ini ditengarai ketika ada indikasi bahwa hukum berjalan beriringan dengan adat kebiasaan setempat yang mana hal yang diarusutamakan adalah unsur saling ridha dalam jual beli. (Mengapa demikian?) Agar supaya keharusan jual beli disertai dengan shighat menjadi terkecualikan dari alasan memakan harta orang lain dengan jalan bathil. Karena sesungguhnya inti dari shighat adalah menunjukkan keridhaan. Sehingga, jika sudah ditemukan maksud dari disyaratkannya shighat karenanya (yakni: saling ridha), maka alangkah baiknya jika pendapat yang paling ditekankan adalah maksud (mencari ridha itu), dengan catatan: jika barang yang diambil anak kecil adalah sebanding dengan harganya.”

Terhadap syarat barang yang dibeli oleh anak kecil, di dalam kitab Bughyatu al-Mustarsyidin: 124, dijelaskan:

نقل أبو فضل في شرح القواعد عن الجوزي الإجماع على جواز إرسال الصبي لقضاء الحوائج الحقيرة وشرائها ونقل في المجموع صحة بيعه وشرائه الشيء اليسير عن أحمد وإسحاق بغير إذن وليه وبإذنه حتى في الكثير عنهما، وعن الثوري وأبي حنيفة، وعنه رواية ولو بغير إذنه

 Artinya: “Abu Fadlal telah menukil dalam kitab Syarah al-Qawa’id, dari Al-Jauzy: Ijma’ ulama menyatakan bolehnya mengutus anak kecil (shabî) untuk memenuhi beberapa kebutuhan dan membeli perkara yang remeh. Abu Fadlal juga menukil dari Kitab al Majmu’ tentang sah jual belinya anak kecil, termasuk membeli sesuatu dengan jumlah sedikit. Imam Ahmad dan Ishaq menambahi: baik tanpa seidzin wali maupun dengan idzinnya sehingga banyak jumlahnya. Dinukil dari Al-Tsaury dan Abu Hanifah ada sebuah riwayat: meskipun tanpa seizin wali” (Lihat: Sayyid Abdurrahman bin Muhammad al-Ba’alawy, Bughyatu al-Mustarsyidin, Kediri: Pesantren Fathul Ulum, tt: 124)

Jadi kesimpulannya adalah jual beli yang dilakukan oleh anak kecil itu sah apabila transaksi tersebut berskala kecil dan transaksi yang biasa dilakukan oleh anak kecil pada umumnya, namun transaksi jual beli yang dilakukan anak kecil yang belum baligh dalam konteks jual beli yang berskala besar hukumnya tidak sah.

Saran dari penjelasan tentang jual beli yang dilakukan oleh anak yang belum baligh adalah wajib bagi orang tua bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan dan pendampingan. Misalnya mengawasi unsur manfaat dan tidaknya barang yang dibeli oleh si anak, mengawasi dari segi madharat atau tidaknya barang yang dibeli baik terhadap anak itu sendiri atau bahkan terhadap sesamanya.

Posting Komentar

0 Komentar