PERNIKAHAN BEDA AGAMA DALAM HUKUM  DI INDONESIA

 



Oleh : Tafif Romanti

Belakangan ini digemparkan di dunia maya dengan pernikahan beda agama yang terjadi kota semarang ,menikah beda agama masih menjadi suatu hal yang dianggap kontroversial dalam masyarakat indonesia.Polemati ini tidak hanya menjadi Bahasan dari sudut pandang agama saja, akan tetapi juga norma-norma atau aturan perundang -undangan negara.Seiring dengan kemajuan zaman,penyimpangan terhadap aturan agama semakin marak dilakukan oleh masyarakat .Salah satu penyimpangan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat adalah masalah pernikahan, dimana soal imah yang sering diremehkan dalam sebuah proses memilih pasangan hidup.

Akan tetaoi kebanyakan orang justru mengedepankan perasaan cinta dan kriteria duniawi,danpaknya adalah meningkatkan angka keretaan dalam rumh tangga yang disebabkan oleh lemahnya pemahaman agama,dampak dari prose akulturasi dan asimilasi budaya sehinggga budaya-budaya yang terkesan “modern” lebih kuat pengaruhnya ketimbang ajran agama.Karena itu ,dalam menjaga kesucian lebaga perkawinan,maka perkawinan atau pernikahan bagi umat islam hanya akan sah apabila dilakukan menurut hukum islam dan keberadaanya perlu di lindungi oleh hukum agama.

Al-quran menegaskan larangan pernikahan seorang muslim/Muslimah dengan orang musyik/kafir.seperti di jelaskan dalam firman allah swt dalam al qur’an surat Al Baqarah ayat 221,QS.AL-Maidah ayat 5,dan Al- Mumtahanah ayat 10.

Dari ayat di atas mengisyaratkan bahwasanya para wali nikah mempunyai peran yang sangat besar dalam kelangsungan perkawinan putra-putrinya atau Wanita yang berada di bawah perwaliannya,sehingga mereka diperintahkan untuk tidak mengawinkan Wanita-wanita muslim yang bawah perwalinnya dengn prang musyrik.Berkaitan dengan pandangan mayoritas ulama yang tidak memasukan ahlul kitab dalam terminology musyrik,bukan berarti bahwa Wanita beriman boleh kawin dengan pria ahlil kitab.

Alasan utama larangan pernikahan orang beriman dengan orang yang tidak beriman ialah perbedaan akidah.Orang yang tidak beriman akan mengajak kepada kekafiran,dan melakukan  perbuatan yang mengantarkan masuk neraka.Bagaimana bisa menjalani hubungan yang harmonis antara suami dan istri atau sebuah keluarga yang berbeda keyakinan ini,jika nilai-nilai yang mereka anut tidak anya berbeda tetapi sudah bertentangan.

Di Indonesian sendiri secara yuridis formal, perkawinan di atur dalam Undang- Undang Nomer 1 tahun 1974 tentan pekawinan dan instruksi Presiden Republik Indonesian Nomor 1 Tahun 1991 tentang kompilasi hukum islam.Kedua perundang-undang ini menatur masalah -masalah yang berkaitan dengan perkawinan tersebut perkawinan antar agama.Dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 2 ayat (1) disebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu"

Sedangkan dalam  hukum Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 40 (c) dan 44 jelas melarang perkawinan orang yang beragama Islam dengan orang yang bukan agama Islam sebagaimana juga tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 2, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.Hukum bukan lah hanya sebagai refleksi dari penjelmaan kehidupan bermasyarakat saja, yang semata-mata hanya tunduk pada perilaku yang ada dalam masyarakat itu, tetapi juga ditundukkan pada sang pencipta manusia yang merupakan sumber kehidupan dan sumber dari segala sumber hukum.

Pembahasan tentang perkawinan beda agama di Indonesia merupakan suatu yang sangat rumit. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. perkawinan campuran diantur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di indonesia tunduk pada hukum yang berlaian

Oleh karena itu kepatuhan manusia tidak hanya pada manusia lainnya, tetapi juga tunduk pada penciptanya. Untuk itu, hukum yang baik di samping harus memperhatikan kaidah sosial kemasyarakatan, tetapi juga mempertahankan dogma-dogma transedental yang dituangkan dalam materi hukum yang mengikat.

Posting Komentar

0 Komentar