Oleh Miftaf Pradika Putra
Ketua DEMA INISNU Temanggung
Dalam memenuhi kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi dan syarat untuk mendapatkan gelar sarjana, mahasiswa program sarjana (strata 1) selain diwajibkan menempuh perkuliahan dengan sistem kredit semester (SKS), mahasiswa juga diwajibkan untuk mengembangkan sejumlah kegiatan dengan memenuhi sistem kredit kegiatan mahasiswa (SKKM).
Sistem kredit kegiatan ini adalah suatu hal atau suatu syarat yang harus dipenuhi oleh mahasiswa untuk mendapatkan gelar sarjana. Sistem kegiatan berbasis poin ini dapat didapatkan dari beberapa kegiatan mulai dari kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstra kurikuler sejak semester awal hingga semester akhir, dan bahkan keaktifan mahasiswa dalam berorganisasi pun mendapatkan poin dalam hal ini.
Di Instutut Islam Nahdlatul Ulama (INISNU) Temanggung, mahasiswa angkatan 2016 keatas pasti asing mendengar sitem kegiatan berbasis poin ini. Namun bagi mahasiswa angkatan 2017 kebawah pasti merasakan perjuangan mengumplkan poin demi selembar ijasah program S1, karena sistem kredit poin ini mulai jamak di temukan di berbagai kampus di Indonesia dengan nama sistemnya yang berbeda-beda.
Tiap kampus pun juga memiliki standar poin yang berbeda-beda. Di INISNU misalnya, setiap mahasiswa Program S1 harus memperoleh minimum 200 (dua ratus) angka kredit selama masa studinya. Dengan pembagian beberapa unsur bidang kegiatan yang meliputi bidang akademik dan kemahasiswaan yang bersifat wajib, bidang penalaran dan keilmuan, bidang bakat minat dan kemampuan/kegemaran, bidang pengabdian kepada masyarakat, penghargaan, dan kegiatan khusus.
SKKM Dalam Kacamata Mahasiswa
Secara umum pemberlakuan SKKM memang memiliki tujuan yang diantaranya sebagai sarana untuk mengembangkan softskils mahasiswa; mengembangkan pola fikir mahasiswa agar berfikir kritis, kretif, analitis, dan sintetis; membantu mahasiswa dalam mengomunikasikan ide atau gagasannya; mengembangkan kepribadian mahasiswa guna menuju insan yang cerdas, arif, kompetitif serta berakhlak mulia.
Disisi lain, tujuan dari adanya SKKM ini juga sebagai proses membentuk mahasiswa yang profesional bukan hanya menguasai teori namun juga memiliki softskils yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Karena prospek seorang yang sukses dalam dunia keja bukan hanya sekedar diterima di dunia kerja saja, namun juga mampu berkompetisi dengan yang lain.
Namun sangat disayangkan apabila sistem tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik, sepertihalnya mengikuti kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstra kurikuler hanya sebatas formalitas dengan dalih “seng penting oleh poin”. Bahkan ketika kegiatan seminar misalnya bebarengan dengan perkuliahan, mahasiswa lebih memilih seminarnya kerena ingin mengejar target poin yang ditentukan. Mahasiswa mengikuti kegiatan bukan untuk mengembangkan softskil, bukan untuk mendengarkan bahkan mencermati materi atau pembelajaran, namun hanya untuk mengincar sertifikat yang berguna sebagai pemenuhan poin.
Bahkan sangat meresahkan dan sangat miris ketika melihat ada mahasiswa yang mengikuti organisasi atau ingin menjadi pengurus di organisasi bukan untuk berkhidmat, bukan untuk memajukan organisasi baik itu intra maupun ekstra kampus, namun hanya “nunut jeneng” agar mendapatkan poin yang sangat menggiurkan. Oraganisasi kemahasiswaan sebagai gudangya Ilmu pengetahuan, pengelaman serta pengembangan minat bakat seakan-akan kini berubah menjadi gudangnya poin SKKM.
Efektivitas Sistem Kegiatan Berbasis Poin
Tulisan ini pada dasarnya bukan sebagai kritikan, melainkan hanya sebagai refleksi atau bahkan sebagai renungan bersama terkait kebijakan SKKM yang diterpkan di INISNU Temangung. Namun dalam hal ini juga perlu adanya sosialisasi secara masif dan terstruktr dari pihak yang berkaitan guna meminimalisir cara pandang mahasiswa yang kurang benar dalam menyikapi sistem tersebut.
Kemudian terkait efektif atau tidaknya sistem kegiatan berbasis poin tersebut, kita kembalikan kepada mahasiswa dalam menyikapinya. Apabila memanfaatkan sistem tesebut dengan baik, atau dengan kata lain untuk mencapai tujuan SKKM, maka akan mendapatkan hal yang bermanfaat sebagai bekal di masa depan. Begitupun sebaliknya, ketika menyikapinya dengan kata “seng penting oleh poin” maka tidak akan ada manfaatnya.
Memang, kredit poin akan terkesan mahasiswa untuk aktif dan memaksa mak=haiswa agar mengembangkan dirinya dalam aktivitas kemahasiswaan. Namun, pemaksaan ini memanglah pemaksaan yang bias dianggap sebagai hal positif, karena aktif di kegiatan kampus akan membawa setiap mahasiswa pada out put yang lebih baik pula.
0 Komentar