Perempuan Parlemen

 Perempuan Parlemen

Oleh ; Kurnia Laili Khamida (-tulisan lain berupa essay, pers, opini, dan artikel yang dimuat diblog pribadi dan media online. Saat ini ketua Senat Mahasiswa Fakultas Syariah di INISNU Temanggung)

Raden ajeng, perlu kau tahu satu abad setelah kau menari dengan aksara, banyak sekali hal-hal indah yang perlu kau lihat, Raden. Suratmu pada sahabatmu Stella sunguh membuatku merasa malu, akan semangatmu yang berapi itu. Seabad yang lalu, kau iktiarkan pendidikan untuk perempuan pribumi. Seakan mustahil waktu itu, karena bergelut dengan adat yang rumit untuk disangkal. Hari ini, semua sudah hampir akan adil bagi seluruh umat laki-laki dan perempuan. Semua disamaratakan, disetarakan sesuai proposional masing-masing. 

Emansipasi yang kau perjuangkan dulu, sudah terealisasi hari ini Raden. Perlu kau tahu Raden, hari ini bahkan kursi birokrasi di Parlemen Negeri sudah diluangkan untuk perempuan. Harus ada keterlibatan 30% perempuan di kursi Parlemen walau nyatanya belum sepenuhnya terpenuhi. Bahkan kemarin ketua Dewan Perwakilan Rakyat RI juga perempuan. Banyak perempuan yang menjadi Mentri, Raden.

Namun, kabar buruknya adalah…

Siang menjelang sore dengan terik yang menyapa jiwa khatulistiwa. Bisa dibayangkan bukan bagaimana ilustrasi untuk sebuah terminal kecil yang cukup lusuh dan kumuh. Aku meneguk air mineral dalam Tumbler untuk sedikit mengurangi rasa panas yang ada. Sudah hampir setengah jam aku duduk ditengah tengah keramaian terminal kecil ini. Lalu lalang kenek dan sopir yang sedang beristirahat menyisakan asap rokok, aroma kopi, dan gelegar tawa yang cukup riang. Beberapa pengamen juga bergantian menyapa. Aku tersenyum kecil, menyodorkan uang kertas kepada anak gadis bercelana jeans pendek dan kaos oblong. Lagu yang dinyayikan pria yang tengah bersamanya adalah lagu milik Iwan Fals, berjudul “Surat buat Wakil Rakyat”

Sejujurnya hatiku sedikit tersayat, melihat keadaan dan mendengar lagu Iwan Fals seakan mendengar teguran dari suara Rakyat yang katanya disebut sebut sebagai suara tuhan. Pikiran tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Singkronisasi Major Project, mandatory spanding, dan teman-temanya tak mereka pahami bukan ? Sependek pengetahuanku dulu sama persis dengan mereka bahwasanya tugas para Dewan hanyalah duduk untuk rapat, diskusi, ngopi, dan serap aspirasi. Tapi lima tahun terakhir ini realita bercerita tentang siklus yang berbeda. Tugas para Dewan sederhana sepertinya, namun tidak pada realitanya.

Disampingku duduk perempuan seusiaku, dia menghisap rokok ditangan kanannya. Mengeluarkan asapnya pada udara. Aku pindah dari tempat dudukku, bukan karena stereotip melabelinya dengan pelabelan negatif, Raden. Tapi aku menjaga janin yang tengah ada dirahimku. “Maaf, saya sedang hamil.” Kataku sebelum pergi. Perempuan itu hanya diam, dari sini orang yang ramah gender akan paham fenomena-fenomena yang terus terjadi sepanjang cerita ini, tentang siapa musuh gender yang sebenarnya ?

Bus antar kota berpintu dua kelas ekonomi sudah tampak digerbang terminal, membuatku berdesak desakkan dengan penumpang lain untuk segera berpamit pada terik. Duduk disamping jendela membuatku berfokus menatap baliho-baliho calon Anggota Dewan. Seorang nenek paruh baya duduk disampingku, ikut hanyut memandang baliho calon Anggota Dewan. 

“Perempuan kok nyaleg, mau jadi apa masa depan keluarganya ?” renyah sekali ucapan beliau, Raden. Hatiku sudah terbiasa remuk karena di Marginalisasi bahkan oleh sesama perempuan.

Aku tersenyum kecil, “Hendak pergi kemana, nek ?” aku bosa-basi. 

“Ke rumah anak saya, diluar kota. Nduk, wanita itu selalu bertanggung jawab penuh akan pengasuhan anak selamanya. Wanita-wanita karir macam dirimu, sudah membanjiri dunia. Banyak diantara mereka yang lupa akan kodratnya untuk menjadi guru pertama bagi anak turunnya.” Aku masih terbiasa dengan kalimat semacam itu, Raden. Sangat terbiasa.

Aku hanya diam, mengelus perutku yang bahkan belum membesar.

“dulu anak perempuan saya bercita-cita untuk pascasarjana di Millan, saya cegah. Dengan alasan anaknya butuh perhatian penuh dari seorang ibu. Kau tahu, nduk. Angka pernikahan akhir-akhir ini semakin menurun. Paham bukan karena apa ? Karena perempuan sibuk bersolek karir melejitkan eksistensi masing-masing.”

Salah siapa ini Raden Ajeng ? Siapa yang akan bertangung jawab akan penurunan angka pernikahan hari ini. Tunggu, bukankan itu bagus ? Hari ini semakin kecil angka pernikahan dini, bukan ? Hari ini semakin kecil angka kemiskinan dalam rumah tangga, karena menikah tanpa kesiapan ekonomi yang matang. Namun mengomentari perkataan tadi akan sia-sia menurutku, Raden. Membuang-buang waktu saja, kataku.

**

Butiran keringat dingin mulai nampak ketika aku sampai pelataran rumah. Aku merasa lelah sekali dengan perjalanan panjang hari ini. Sebelum membuka pintu utama, suara klakson mobil terdengar. Suamiku turun membawa paperbag, aku tahu isinya pasti hidangan makan malam. Rasa mual, hadir seketika membuatku buru-buru masuk sebelum menyalaminya. Usia kehamilanku, masih sangat muda memang. 

Ibu, beliau membuntuti langkahku. Beliau memberi minyak angin untuk ku hirup dan oles. Tapi, nihil. Aroma minyak makin membuat pening kepalaku.

 “Istirahat, nduk. Kau terlalu capek.” Katanya.

Aku duduk di sofa, menerima air hangat yang diambilkan oleh suamiku. 

“Sampai kapan kau terus akan pulang malam, nduk ? Tidak baik, perempuan pulang malam. Apalagi sendirian, bahkan disaat kondisi kehamilanmu.”

“Saya baik-baik saja, bu.”

“Sejak mengetahui kehamilanmu, ibu urung memberi ridho pada kampanyemu, nduk.” Sanubariku tentu sangat runtuh.

“Perempuan tidak pantas menjadi pemimpin.” Suara seseorang yang tiba-tiba hadir. “dalam hadis sudah dijelaskan bahwasanya tidak baik memberikan suatu urusan kepada perempuan apalagi sebuah kepemimpinan. Parlemen itu, suatu birokrasi yang tidak main-main.” Tambah pria itu.

Bukan agama, Raden Ajeng. Bukan agama yang menjadi musuh gender hari ini. Namun Tafsir misoginis yang terpatri pada jiwa-jiwa patriarki.

“lebih baik, kau mandi dulu. Selepas itu makan dan istirahat.” Suamiku menegahi pembicaraan.

Hormon untuk melawanku menyala, aku menghela napas. “bu, ibu tenang saja. Saya baik. Saya pulang malam juga melakukan hal baik. Celakanya tadi mobilku tiba-tiba mogok. Hp lowbat, jadi saya ke terminal terdekat untuk pulang.” 

Aku kembali menghela nafas, memandang tajam pria yang entah berantah. “sudah hampir lima tahun saya diparlemen. Semua berjalan lancar dan baik. Keterlibatan perempuan diparlemen hari ini sudah menjadi perhatian public. Siapa anda ? Dan kemana saja anda, sehingga tidak tahu mengenai hal ini ?”

“Dek, masuk saja…” suamiku memapah langkahku.

Kepalaku makin pening, tidak bisa kudefinisikan rasa sakit yang sedang menyerang. Aku berjalan dengan begitu berat, setibanya di depan kamar. Aliran merah tiba-tiba mengalir, mataku terpejam. Aku memegang erat lengan suamiku. 

Melihat kondisiku yang semacam ini tentu membuatnya sangat panik. Namun dia sangat pandai untuk mengatur situasi internal dalam dirinya. “kita kebidan sekarang.” Itu kalimat terakhir yang dapat kudengar sebelum aku memejamkan mata tak sadarkan diri. 

Raden Ajeng, perlu kita pahami bersama. Bahwa benar kalimat dari Syakh Rasyid bahwasanya “Masa-masa sulit menciptakan orang-orang kuat, orang-orang kuat menciptakan masa-masa mudah. Masa-masa mudah menciptakan manusia lemah, manusia lemah menciptakan masa-masa sulit.”

Masamu Raden, menciptakan orang sehebat dirimu yang memperjuangkan emansipasi dan prespektif baru tentang konstruksi sosial. Kau menciptakan masa yang menjadikan akses kami begitu mudah. Dengan kemudahan tersebut, tak sedikit kami yang lengah dan akhirnya lemah. Buktinya kursi parlemen belum terpenuhi sesuai porsi awal yang disediakan. Bukan karena apa-apa, Raden. Namun karena mental internal perempuan sendiri yang perlu diberdayakan hari ini. Bukan lagi tentang stereotip, overburden, marginalisasi, pemahaman tafsir misoginis pada patriarki, bukan Raden.

Lantas siapa yang bertangung jawab atas perempuan hari ini ? Dengan beberapa golongan feminisme yang liberal ? Dengan pemahaman gender yang berlebihan, dengan keras kepala dan tidak mau disalahkan.

Posting Komentar

0 Komentar