LEDAKAN MELEBIHI BOM

Oleh: Mohammad Faqih Ubaidillah
Mahasiswa INISNU TEMANGGUNG semester empat

Hari-hari berjalan terasa cepat, usia kemerdekaan sudah memasuki masa lansia, di mana negara sudah tak muda lagi, di mana masa pikun akan terjadi, di mana masa kanak-kanak akan kembali. Negara yang berdikari di atas demokrasi katanya... akan tetapi seakan layaknya stand up comedy, di mana-mana masa militer sudah menduduki kursi dan tak lagi mengangkat senjata kembali, di mana para komedian ikut andil menyikapi hal-hal berbau politis, di mana hal-hal yang tak patut dipublikasi layaknya tontonan animasi yang tak berinovasi. Hidup di masa sekarang ini layaknya sebuah lelucon yang dipublikasi, di mana hal pribadi tak ada lagi, demokrasi disuntik mati layaknya bahan praktik medis beraksi. Sungguh menyeramkan sekali, melebihi bom yang meledak meruntuhkan pondasi-pondasi.

Mau bagaimana lagi? Kita hidup di negeri animasi, di mana seseorang yang berdasi memakan nasi kebuli dan kita hanya diberi sisaan mereka yang sudah basi. Pembungkaman yang sangat bergejolak di mana-mana, layaknya pengeboman satu negara. Hal ini sangat mengerikan, melebihi radius ledakan bom yang sangat dahsyat, melebihi bencana alam yang mematikan semua orang yang tinggal di tempat tersebut. Mau protes bagaimana? Kepada siapa? Tiada tempat mengadu lagi di negara ini. Suara yang berkoar dengan lantang menegakkan keadilan saja dianggap hanya sebuah gonggongan anjing semata.

Sangat sulit rasanya... ya mau bagaimana lagi? Toh lah memang kita hidup di negeri animasi. Undang-undang hanya dianggap fiksi. Mau beraksi, dipukuli sampai mati. Ahh, muak rasanya, tapi mau bagaimana lagi... Kita dituntut untuk patuh kepada pimpinan, sedangkan mereka saja tak patuh pada aturan dan perundang-undangan, di mana undang-undang dianggap layaknya mainan yang bisa diubah sewenang-wenang tanpa mempertimbangkan dengan matang. 

Bagaimana nasib negeri ini jikalau bom meledak meruntuhkan negeri? Bagaimana jadinya jika negeri ini diduduki oleh mereka-mereka yang tak tahu diri, yang hanya mengedepankan gengsi, yang hanya berpakaian berdasi dan memakai jas kebanggaannya itu yang hanya menjadi selimut hangatnya ketika rapat, duduk di kursi dan membahas negeri ini. Berat rasanya mengungkap hal ini, akan tetapi mau bagaimana lagi? Demokrasi sudah dilucuti, suara rakyat sendiri tak didengar kembali, jurnalis dibungkam sampai tak bisa menulis kembali, karya-karya anak negeri tak dihargai.

Mau bagaimana lagi? Bom ini sudah meledak terlalu jauh, mematikan semua orang yang berpengaruh, merobohkan bangunan-bangunan ideologi yang kukuh. Sungguh berat bencana ini, akan tetapi mau bagaimana lagi? Bom ini terlalu dahsyat sampai-sampai siapa pun tak bisa mengatasi karena semuanya dibasmi sampai mati.

Sungguh berat sekali hal ini. Gunung dengan medan yang curam saja bisa dilalui para pendaki, akan tetapi hal ini? Tak ada yang bisa mengatasi... entah kalau Sang Ilahi Rabbi.


Kendal, 13 Mei 2025
Ruang tamu depan di sepertiga malam
Oleh: Mohammad Faqih Ubaidillah
Editor: Al Ichda 'Irfa Chilya 'Izzati 

Posting Komentar

0 Komentar