Syukur Tak Terukur

 

Sumber gambar: sayuti.com

Cerita Pendek oleh Arsyita Finawasil

Malam ini, ditemani indurasmi yang bersinar terang di luar sana. Gemeresik ilalang, dan suara jangkrik menemani malam panjangnya kali ini. Lelaki dengan tubuh tinggi dan wajah biasa-biasa saja itu, tengah memandangi langit-langit kamar. Overthinking, dan menjadi sosok fresh graduate sepertinya tidak akan mudah.

Pengumuman kelulusan sudah beberapa bulan lalu. Tetapi, ia belum menemukan titik terang tentang kelanjutan hidupnya. Entah belum menemukan, atau memang tidak berusaha mencari. Hanya dirinya sendiri yang tahu.

"Arghhh!" teriaknya, kepada diri sendiri. "Kenapa alur hidup gue dramatis banget anj*r!"

"Mereka pikir gue masih anak TK? ‘Kan enggak," ucapnya pada diri sendiri, dengan kedua tangannya yang sedari tadi tidak berhenti mengacak-acak rambut hitamnya. Dia, nama lengkapnya Yogya Raca Al-Baitani. Tidak ada yang begitu mencolok darinya. Ia hanya lelaki biasa seperti pada umumnya, tetapi orang tuanya berbeda. Orang tuanya, memiliki peraturan yang sulit diterapkan pada kehidupan zaman sekarang. Bukan 90-an, atau bahkan kurang dari itu.

"Bangun toh, Nang, matahari udah tembus jendela ngene kok ya masih betah ngebo terus," tutur sang ibu dengan logat medok khasnya.

"Eunggh, duh, Mbok, masih pagi juga," balasnya sembari mengucek mata. Sang ibu menggeleng-gelengkan kepala. "Masih pagi, masih pagi, mbokyo dilihat itu matahari uda terang banget," ujarnya sembari menyibak gorden jendela.

"Wes, karepmu, Nang. Pokoke lek ndang adus, nyari kerja opo pie kono, opo meh tak rabike wae?" lanjutnya, yang membuat Yogya segera bangun dan berlari menuju kamar mandi.

"Eladalah! Ki anak keturunane sapa jane, disuruh nikah nggak mau, disuruh kuliah po maneh, golek kerjo yo ora ndang cepet-cepet."

"Ingat ya, Mbok! Simbok juga yang Nggak bolehin aku kerja jauh-jauh, padahal di kota sebelah aja loh," teriak Yogya, dari dalam kamar mandi.

"Halah wes-wes, Nang," jawab ibu, sambil keluar dari kamar Yogya.

***

Sang bagaskara memancarkan sinarnya sejak beberapa jam lalu. Sebuah motor yang dikendarai oleh seseorang lelaki remaja, masih tak punya arah tujuan. Hanya bermodal bensin yang sekarang mulai menipis kembali. Bingung. Mungkin itu yang dirasakan lelaki remaja itu, berpawakan tinggi, dengan alis sedikit lebih tebal, jika dibandingkan dengan lelaki remaja yang lainnya. Eh, sebentar! Dia memelankan kecepatan motornya, mata elangnya memicing ke pinggir jalan yang masih berjarak beberapa meter darinya.

"Kok gue kayak kenal sama itu orang ye?" monolognya, masih dengan mengendarai motornya. Pelan-pelan ia mendekat, mematikan mesin motor kesayangannya tepat di sebelah kursi yang diduduki seseorang tadi. Helm fullface sudah terlepas dari kepalanya.

"Lah, lu ngapain di sini nyet?" tanyanya pada orang tadi.

"Lu, nggak liat ya, gue lagi ngapain?"

"Kebiasaan lu mah, jangan panggil gue 'ya' bege, sekali-kali tidak gitu kek,"

"Iye yog, canda elah gitu doang,"

"Jadi?"

"Iya, gue buka usaha kecil-kecilan sendiri, ya itung-itung biar enggak nganggur aja," jawabnya, sambil merapikan helm dagangannya. Percayalah! Itu sebenarnya helm udah rapi. Rapi banget malah. Dia adalah teman eskulnya dulu, di SMK Warawiri.

"Lu sendiri gimana? Enggak capek apa? tiap hari makan tidur, makan tidur doang," sindirnya tajam.

"Capeklah bro, kayak orang gapunya masdep aje gue," jawab Yogya, terdengar mulai frustrasi akan jalan hidup yang sedang ia jalani.

"Terus lu udah ada rencana?"

"Rencana doang mah banyak nj*r, tapi ‘kan lu tau apa yang jadi kendala gue selama ini. Lu tau ‘kan izin orang tua itu yang harus gue prioritaskan," jelas Yogya, kepada seorang lelaki remaja yang sudah beberapa saat duduk di sebelahnya.

"Iya sih, dah lu sabar aja. Sekali-kali sholat malam kek biar dapet pencerahan hahaha," candanya.

"Etdah itu mah juga udah gue lakuin nyet," jawabnya.

Tiba-tiba sakunya bergetar, tanda ada panggilan masuk. Ekspresinya berubah drastis.

"Lu kenapa?" tanya temannya. Namun yang ditanya, tidak memberi jawaban. Seseorang itu malah bergegas pergi.

"Gue pergi dulu, penting nih demi masa depan gue hahaha," jawabnya, sambil menghidupkan motornya dan berlalu begitu saja.

***

Beberapa menit bergelut dengan debu jalanan, akhirnya Yogya pun telah sampai di sekolah. Setelah beberapa langkah menapaki koridor sekolah, dirinya pun telah sampai di sebuah ruangan yang ia tuju.

"Assalamu’alaikum, Bu," ujarnya, sembari mengetuk pintu

"Eh, Yogya udah datang, sini masuk, Nak," ajak Bu Guru ramah.

Bu Dian, yang merupakan guru konseling di sekolah ini. Entah mengapa lelaki bernama Yogya itu tiba-tiba dipanggil menuju ruangan saat masa putih abu-abunya dulu, tempat ini menjadi sedikit mengerikan di mata Yogya. Yogya menggaruk tengkuknya yang tak gatal, dan membuka suara.

"Ada apa ya, Bu? Apakah ada sesuatu, atau hal yang lainnya? Sehingga Ibu memanggil saya kemari," tanyanya, sedikit takut.

"Jadi gini, Nak...," ujar Bu Dian yang sempat terputus. Guru itu melangkah ke mejanya, dan mengambil secarik kertas.

“Waduh! Apa gua dulu bikin onar dan baru ketauan sekarang, ya?” Yogya menebak surat itu adalah surat panggilan orang tua.

"Ini, coba kamu baca," ujar Bu Dian dengan tersenyum, sembari menyodorkan surat tersebut.

Jantung Yogya tak dapat dikontrol, ia dikelilingi rasa penasaran yang bercampur dengan kekhawatiran. Perlahan-lahan ia membuka surat tersebut, membacanya dengan sangat teliti.

Dengan surat Ini, Ananda Yogya Raca Al-Baitani Dinyatakan LOLOS.

Setelah membaca kalimat tersebut, Yogya langsung bersujud. Air matanya meleleh tanda kebahagiaan. Nyatanya, tidak ada do'a yang tidak dikabulkan. Hanya kita, setiap insan memiliki waktu terbaik untuk menerimanya.

"I-ini beneran, Bu?" tanyanya memastikan, meski dalam benaknya sungguh tak percaya.

Bu Dian tersenyum, mengelus lengan kekar milik Yogya itu. "Iya, Nak."

"Alhamdulillah!" ujarnya berkali-kali, ucapan syukur tak berhenti keluar dari mulutnya.

"Senang, bukan? Makanya jangan takut mencoba!" tutur Bu Dian. "Ya sudah sana pulang, kasih tau orang tuamu!"

"Baik, Bu. Terima kasih banyak atas bantuannya. Dan mohon maaf jika selama ini, saya selalu merepotkan ibu," ucapnya penuh syukur.

"Sudah kewajiban saya sebagai guru, Nak, jangan lupa bersyukur!"

"Iya bu. Kalau begitu saya pamit, Bu, Assalamu'alaikum," ujar Yogya, menyalami Bu Dian.

***

Sesampainya di rumah…

"Kok biso ngono to, Nang? Bukannya kamu nggak mau kuliah to, ojo ngapusi Simbok! Ora lucu!" Respon simbok, setelah mendengar pernyataan Yogya.

"Mboten ngapusi, Mbok. Begini lho, Bu Dian itu diam diam daftarin aku kuliah karena menurut beliau kemampuanku dirasa cukup, dan tadi tiba-tiba aku dipanggil udah keterima itu. Lah ini buktinya," jelas Yogya, sembari tangannya menyodorkan surat tadi.

"Alhamdulillah, Nang, alhamdulillah, jangan lupa bersyukur loh kamu. Simbok seneng banget, anak lanange wes ra pengangguran lagi setelah ini," syukur simboknya, tak henti henti air matanya menetes tanpa permisi.

"Iya, Mbok, ini pasti berkat doa Simbok juga. Yaudah, Mbok, aku tak ngumpulin berkas-berkas dulu untuk persyaratan yang lain," pamit Yogya, berlalu ke kamarnya.

Masih sulit dipercaya, entah keajaiban dari mana. Jika memang takdirnya, jika memang jalannya, pasti Allah akan memberikan jalan. Memang benar, semua yang disutradarai Allah alurnya tidak pernah bisa ditebak. Beberapa, bahkan benar-benar di luar dugaan kita. Dulu, aku yang selalu negative thinking tidak akan diterima di universitas, nyatanya, Allah memberikan jawaban dengan menitipkannya melalui Bu Dian.

Jangan lupa bersyukur, Readers!

Posting Komentar

0 Komentar