Malam
ini, ditemani indurasmi yang bersinar terang di luar sana. Gemeresik
ilalang, dan suara jangkrik menemani malam panjangnya kali ini. Lelaki dengan
tubuh tinggi dan wajah biasa-biasa saja itu, tengah memandangi langit-langit
kamar. Overthinking, dan menjadi sosok fresh graduate sepertinya
tidak akan mudah.
Pengumuman
kelulusan sudah beberapa bulan lalu. Tetapi, ia belum menemukan titik terang
tentang kelanjutan hidupnya. Entah belum menemukan, atau memang tidak berusaha
mencari. Hanya dirinya sendiri yang tahu.
"Arghhh!"
teriaknya, kepada diri sendiri. "Kenapa alur hidup gue dramatis banget
anj*r!"
"Mereka
pikir gue masih anak TK? ‘Kan enggak," ucapnya pada diri sendiri, dengan
kedua tangannya yang sedari tadi tidak berhenti mengacak-acak rambut hitamnya.
Dia, nama lengkapnya Yogya Raca Al-Baitani. Tidak ada yang begitu mencolok
darinya. Ia hanya lelaki biasa seperti pada umumnya, tetapi orang tuanya
berbeda. Orang tuanya, memiliki peraturan yang sulit diterapkan pada kehidupan
zaman sekarang. Bukan 90-an, atau bahkan kurang dari itu.
"Bangun
toh, Nang, matahari udah tembus jendela ngene kok ya masih betah ngebo
terus," tutur sang ibu dengan logat medok khasnya.
"Eunggh,
duh, Mbok, masih pagi juga," balasnya sembari mengucek mata. Sang ibu
menggeleng-gelengkan kepala. "Masih pagi, masih pagi, mbokyo dilihat itu
matahari uda terang banget," ujarnya sembari menyibak gorden jendela.
"Wes,
karepmu, Nang. Pokoke lek ndang adus, nyari kerja opo pie kono, opo meh
tak rabike wae?" lanjutnya, yang membuat Yogya segera bangun dan
berlari menuju kamar mandi.
"Eladalah!
Ki anak keturunane sapa jane, disuruh nikah nggak mau, disuruh kuliah po
maneh, golek kerjo yo ora ndang cepet-cepet."
"Ingat
ya, Mbok! Simbok juga yang Nggak bolehin aku kerja jauh-jauh, padahal di kota
sebelah aja loh," teriak Yogya, dari dalam kamar mandi.
"Halah
wes-wes, Nang," jawab ibu, sambil keluar dari kamar Yogya.
***
Sang
bagaskara memancarkan sinarnya sejak beberapa jam lalu. Sebuah motor yang
dikendarai oleh seseorang lelaki remaja, masih tak punya arah tujuan. Hanya
bermodal bensin yang sekarang mulai menipis kembali. Bingung. Mungkin itu yang
dirasakan lelaki remaja itu, berpawakan tinggi, dengan alis sedikit lebih
tebal, jika dibandingkan dengan lelaki remaja yang lainnya. Eh, sebentar! Dia
memelankan kecepatan motornya, mata elangnya memicing ke pinggir jalan yang
masih berjarak beberapa meter darinya.
"Kok
gue kayak kenal sama itu orang ye?" monolognya, masih dengan mengendarai
motornya. Pelan-pelan ia mendekat, mematikan mesin motor kesayangannya tepat di
sebelah kursi yang diduduki seseorang tadi. Helm fullface sudah terlepas
dari kepalanya.
"Lah, lu ngapain di sini nyet?" tanyanya pada orang tadi.
"Lu,
nggak liat ya, gue lagi ngapain?"
"Kebiasaan
lu mah, jangan panggil gue 'ya' bege, sekali-kali tidak gitu kek,"
"Iye
yog, canda elah gitu doang,"
"Jadi?"
"Iya,
gue buka usaha kecil-kecilan sendiri, ya itung-itung biar enggak nganggur
aja," jawabnya, sambil merapikan helm dagangannya. Percayalah! Itu
sebenarnya helm udah rapi. Rapi banget malah. Dia adalah teman eskulnya dulu,
di SMK Warawiri.
"Lu
sendiri gimana? Enggak capek apa? tiap hari makan tidur, makan tidur
doang," sindirnya tajam.
"Capeklah
bro, kayak orang gapunya masdep aje gue," jawab Yogya, terdengar mulai
frustrasi akan jalan hidup yang sedang ia jalani.
"Terus
lu udah ada rencana?"
"Rencana
doang mah banyak nj*r, tapi ‘kan lu tau apa yang jadi kendala gue selama ini.
Lu tau ‘kan izin orang tua itu yang harus gue prioritaskan," jelas Yogya,
kepada seorang lelaki remaja yang sudah beberapa saat duduk di sebelahnya.
"Iya
sih, dah lu sabar aja. Sekali-kali sholat malam kek biar dapet pencerahan
hahaha," candanya.
"Etdah
itu mah juga udah gue lakuin nyet," jawabnya.
Tiba-tiba
sakunya bergetar, tanda ada panggilan masuk. Ekspresinya berubah drastis.
"Lu
kenapa?" tanya temannya. Namun yang ditanya, tidak memberi jawaban.
Seseorang itu malah bergegas pergi.
"Gue
pergi dulu, penting nih demi masa depan gue hahaha," jawabnya, sambil
menghidupkan motornya dan berlalu begitu saja.
***
Beberapa
menit bergelut dengan debu jalanan, akhirnya Yogya pun telah sampai di sekolah.
Setelah beberapa langkah menapaki koridor sekolah, dirinya pun telah sampai di
sebuah ruangan yang ia tuju.
"Assalamu’alaikum,
Bu," ujarnya, sembari mengetuk pintu
"Eh,
Yogya udah datang, sini masuk, Nak," ajak Bu Guru ramah.
Bu
Dian, yang merupakan guru konseling di sekolah ini. Entah mengapa lelaki
bernama Yogya itu tiba-tiba dipanggil menuju ruangan saat masa putih abu-abunya
dulu, tempat ini menjadi sedikit mengerikan di mata Yogya. Yogya menggaruk
tengkuknya yang tak gatal, dan membuka suara.
"Ada
apa ya, Bu? Apakah ada sesuatu, atau hal yang lainnya? Sehingga Ibu memanggil
saya kemari," tanyanya, sedikit takut.
"Jadi
gini, Nak...," ujar Bu Dian yang sempat terputus. Guru itu melangkah ke
mejanya, dan mengambil secarik kertas.
“Waduh!
Apa gua dulu bikin onar dan baru ketauan sekarang, ya?” Yogya
menebak surat itu adalah surat panggilan orang tua.
"Ini,
coba kamu baca," ujar Bu Dian dengan tersenyum, sembari menyodorkan surat
tersebut.
Jantung
Yogya tak dapat dikontrol, ia dikelilingi rasa penasaran yang bercampur dengan
kekhawatiran. Perlahan-lahan ia membuka surat tersebut, membacanya dengan
sangat teliti.
Dengan
surat Ini, Ananda Yogya Raca Al-Baitani Dinyatakan LOLOS.
Setelah
membaca kalimat tersebut, Yogya langsung bersujud. Air matanya meleleh tanda
kebahagiaan. Nyatanya, tidak ada do'a yang tidak dikabulkan. Hanya kita, setiap
insan memiliki waktu terbaik untuk menerimanya.
"I-ini
beneran, Bu?" tanyanya memastikan, meski dalam benaknya sungguh tak
percaya.
Bu
Dian tersenyum, mengelus lengan kekar milik Yogya itu. "Iya, Nak."
"Alhamdulillah!"
ujarnya berkali-kali, ucapan syukur tak berhenti keluar dari mulutnya.
"Senang,
bukan? Makanya jangan takut mencoba!" tutur Bu Dian. "Ya sudah sana
pulang, kasih tau orang tuamu!"
"Baik,
Bu. Terima kasih banyak atas bantuannya. Dan mohon maaf jika selama ini, saya
selalu merepotkan ibu," ucapnya penuh syukur.
"Sudah
kewajiban saya sebagai guru, Nak, jangan lupa bersyukur!"
"Iya
bu. Kalau begitu saya pamit, Bu, Assalamu'alaikum," ujar Yogya, menyalami
Bu Dian.
***
Sesampainya
di rumah…
"Kok
biso ngono to, Nang? Bukannya kamu nggak mau kuliah to, ojo ngapusi Simbok!
Ora lucu!" Respon simbok, setelah mendengar pernyataan Yogya.
"Mboten
ngapusi, Mbok. Begini lho, Bu Dian itu diam diam daftarin aku kuliah karena
menurut beliau kemampuanku dirasa cukup, dan tadi tiba-tiba aku dipanggil udah
keterima itu. Lah ini buktinya," jelas Yogya, sembari tangannya
menyodorkan surat tadi.
"Alhamdulillah,
Nang, alhamdulillah, jangan lupa bersyukur loh kamu. Simbok seneng banget, anak
lanange wes ra pengangguran lagi setelah ini," syukur simboknya, tak
henti henti air matanya menetes tanpa permisi.
"Iya,
Mbok, ini pasti berkat doa Simbok juga. Yaudah, Mbok, aku tak
ngumpulin berkas-berkas dulu untuk persyaratan yang lain," pamit Yogya,
berlalu ke kamarnya.
Masih
sulit dipercaya, entah keajaiban dari mana. Jika memang takdirnya, jika memang
jalannya, pasti Allah akan memberikan jalan. Memang benar, semua yang
disutradarai Allah alurnya tidak pernah bisa ditebak. Beberapa, bahkan
benar-benar di luar dugaan kita. Dulu, aku yang selalu negative thinking
tidak akan diterima di universitas, nyatanya, Allah memberikan jawaban dengan
menitipkannya melalui Bu Dian.
Jangan lupa bersyukur, Readers!
0 Komentar