Oleh: Geya Ali S/H
Kepada manusia yang tangannya tanpa gemetar memegang rindu dan kakinya setia melangkah di jalan kebajikan.
Kepada jiwa-jiwa yang menyerahkan segenap jiwanya pada tangisan air mata dan menyanyikan himne kebebasan di penjara-penjara kebodohan, dan yang nyalinya adalah darah dan nisannya adalah tulang belulang ibunda.
Untukmu tumbuh subur, tumbuh subur pergerakanku.
Perkenalkan aku adalah seorang kader organisasi yang mungkin suatu saat nanti aku akan dikatakan pengkhianat oleh para militan organisasi yang kolot. Tapi sebelum itu izinkan aku menjelaskan sedikit mengapa aku bisa masuk di sebuah organisasi ini, mengapa aku sungguh jatuh cinta dan mengarungi palung keyakinan dalam-dalam.
Aku adalah seorang yang menyimpan puluhan trust issue yang tak mungkin aku ceritakan pada siapapun, yang kemudian aku terpenjara dalam ruang batin tanpa isakan air mata dan kesepian yang menggerogoti kewarasanku.
Tanpa adanya angin yang membuat dedaunan jatuh, dan tanpa adanya hujan yang membuat bumi terguyur subur, aku melihat sebuah ruang di mana persahabatan yang erat dan ruang-ruang dialektika hadir di tengah-tengah krisis kebodohan. Entah apa yang aku pikirkan saat itu, batin dan jiwaku terseret oleh suatu hal yang aneh. Aku ingin masuk dalam ruangan itu, aku ingin melebur bersama mereka para aktivis yang melawan segala bentuk penindasan. Aku jatuh cinta.
Namun seiring berjalannya waktu, semakin dalam aku tenggelam dalam lautan biru itu, aku melihat gelapnya kedalaman yang tak mampu dilihat dari atas permukaan. Puluhan omong kosong dari ideologi yang mereka doktrinasi sejak seorang mahasiswa merdeka dalam pikiran. Ideologi hanyalah sebuah konsep, hati mereka percaya pada keyakinan, namun mata mereka buta terhadap realita.
Ironis sekali bagaimana ideologi tertanam dan menjadi bahan perbincangan yang tak berkesudahan. Namun pada realitanya nol besar, organisasi ini selalu berbicara tentang sebuah dinamika yang besar. Namun, dinamikanya sendiri terhadap ideologi tak mampu ia selesaikan. Bagaimana organisasi itu mampu menjadi besar jika ideologi yang menjadi dasar langkah bergerak adalah barang kuno yang tertutupi debu dan tiada pernah dihiraukan di sudut-sudut rumah.
Bukan hanya ideologi, semakin aku meratap di ruang-ruang kosong dan semakin aku berteduh dalam guyuran hujan badai intelektual dan keilmuan, nyatanya spiritualitas dan interaksi kepada Tuhan hanya tercatat di buku-buku baku. Kewajiban bersujud kepada Tuhan tergantikan dengan hadirnya kesibukan-kesibukan yang membuatnya terlena. Orang-orang itu semakin terbuai semakin dalam, larut dalam kehampaan yang dibalut pilar-pilar mahkota.
Sebuah Kesesatan yang Masif Jika kau bertanya padaku, bukankah hanya oknum yang memerkosa ideologinya sendiri?
Mengapa banyak sekali oknum yang demikian? Bukankah oknum secara harfiah adalah perseorangan? Hanya sedikit sekali orang-orang yang menjalankan prinsip dasar organisasi dan memegang teguh dengan jari jemarinya tanpa gentar di tengah-tengah manusia kolot yang fanatik dan dungu.
Ideologi adalah kumpulan gagasan, keyakinan, dan tindakan yang menjadi asas pendapat dan tujuan hidup. Dengan penuh ridho di dada dan tangan mengadah kepada Tuhan, kehancuran moralitas masyarakat juga ikut terjadi dalam organisasi yang menjadi wadah kaum-kaum bajik menjadi bijak. Norma-norma dan asas yang menjadi keyakinan berpijak dan paradigma berfikir mulai usang dan dianggap kuno.
Mau sampai kapan? Bukankah satu langkah mundur dari organisasi adalah sebuah pengkhianatan? Bukalah matamu sahabatku. Jangan menjadi manussia-manusia dungu yang gelap mata dan hatinya ditutupi kabut fanatisme dan egoisme. Tercerahkanlah jiwa-jiwa yang mencintai organisasi. Tumbuh subur, tumbuh subur.
0 Komentar