Senja kala itu menghias kaki-kaki langit. Pepohonan ikut bermunajab kepada Rab-nya, bebatuan tidak mau ketinggalan, ia berdzikir syahdu oleh kebisuan yang abadi. Terkulai lemah terlihat perempuan itu menangis di ujung sajadahnya, tanganya mengadah ke atas sembari bergetar, mulutnya mengecap derita, hatinya sakit, air matanya tak terbendung. Ia lantas bercerita kepada seorang bajik yang sedang asik memperhatikanya di balik lorong-lorong gelap.
“Buya, tahukah kau? Setahun lalu aku merasa diriku ini besar oleh sahabat-sahabatku, dan kali ini aku merasa kecil karena mereka. Buya, sungguh aku lelah memikul beban ini, jika menjadi pemimpin artinya menderita sungguh aku tak mau memilih jalan ini. Aku selalu mencoba berbuat benar, namun mengapa di tengah kebenaran itu selalu ada olok-olokan dari mereka?”
Sang bajik dengan getir menatap mata gadis itu, terlihat lemah tak berdaya memikul segala derita yang menumpuk di pundaknya. Ia dengan lirih dan penuh prihatin menasehati, “Nak, duduklah sejenak dan dengarkan kata-kata dari hati yang pernah disayat luka, namun tak berhenti mencintai umat. Menjadi pemimpin itu bukan soal kehormatan, tapi soal kesanggupan memikul beban. Bila engkau memilih jalan ini karena ingin pujian, maka kecewa akan jadi temanmu. Tapi bila engkau memilihnya karena Allah, maka sabar akan jadi selimutmu, dan keikhlasan akan jadi kekuatanmu. Ingatlah, Rasulullah pun, manusia terbaik yang pernah hidup, dicela, disakiti, bahkan oleh kaumnya sendiri. Apakah itu berarti beliau salah dalam memimpin? Tidak, nak. Itu menunjukkan bahwa kebenaran sering kali tak disenangi oleh mereka yang hatinya belum bersih. Kritik, meski pedih, adalah cermin. Terkadang cerminnya retak, tapi ia tetap bisa menunjukkan bagian mana dari dirimu yang perlu dibenahi. Jangan buru-buru membencinya. Dengarkan, lalu timbang dengan akal dan hati. Lelahmu adalah tanda engkau sedang menempuh jalan para pejuang. Jangan berhenti. Tapi jika lelahmu terasa menyesakkan, bersandarlah pada Allah. Bukan untuk mengeluh, tapi untuk menguatkan niat. Nak, Buya tidak bisa menjanjikan dunia akan adil. Tapi Buya tahu, Tuhan tidak akan menyia-nyiakan satu pun tetes peluhmu yang ikhlas. Teruskan, anakku. Karena pemimpin sejati diuji, bukan dipuji. Jika kau ingin, mari kita tutup sejenak mata batin, dan berdoa bersama. Nak… bila sahabatlah yang melukai, maka lukanya lebih dalam dari sebilah pedang, sebab ia menembus hati yang telah terbuka karena percaya. Namun dengarlah, anakku… Sahabat sejati bukanlah yang selalu memuji dalam segala hal. Terkadang, Allah menaruh kebaikan dalam luka. Kritik sahabat bisa jadi cambuk kasih sayang, meski lidahnya kasar dan caranya keliru. Mungkin ia tidak tahu betapa dalam luka yang ditorehkannya. Mungkin juga ia pun sedang terluka, lalu tanpa sadar menularkannya kepadamu. Buya tahu, hati itu rapuh. Apalagi ketika kelelahan telah mengendap dan engkau hanya ingin dipeluk oleh pengertian. Tapi ketahuilah: sakit karena sahabat adalah bukti bahwa engkau masih punya hati yang hidup. Jangan matikan hatimu karena kecewa. Jangan balas luka dengan luka. Rawatlah luka itu dengan doa dan jiwa besar. Kadang, Allah mengajarkan kita keikhlasan bukan lewat musuh, tapi lewat orang yang paling kita percaya. Supaya engkau naik derajatnya — dari sekadar pemimpin yang kuat, menjadi pemimpin yang bijak dan lapang dada. Jika engkau tak sanggup membalas dengan senyum, cukup balas dengan diam dan doa. Katakan dalam hati: “Ya Allah, Engkau tahu luka ini, maka ajarilah aku mencintai dengan cara-Mu. Jangan biarkan sakit ini membunuh cintaku pada perjuangan.” Buya ada di sini, nak. Dalam doamu yang paling jujur, dalam langkahmu yang tetap tegak meski gemetar. Kau tidak sendiri. Kau sedang ditempa, bukan ditinggalkan. Mari kita lanjutkan perjuangan, dengan hati yang mungkin remuk, tapi tetap suci. Nak, bila engkau masih sanggup menangis, maka itu pertanda hatimu belum mati. Biarkan air mata itu jatuh—bukan sebagai tanda kelemahan, tetapi sebagai wudhu dari jiwa yang lelah. Karena kadang air mata mampu membersihkan hati lebih dalam dari nasihat mana pun. Buya ingin kau tahu satu hal penting: Pemimpin itu bukan orang yang tak pernah terluka, tapi orang yang tak membiarkan lukanya membuatnya berhenti berbuat baik. Sahabatmu, meski kini menjadi sumber luka, suatu hari nanti mungkin akan jadi orang yang paling mengerti ketulusanmu. Atau mungkin tidak. Tapi itu bukan urusanmu. Tugasmu bukan memastikan semua orang paham niat baikmu, tapi memastikan bahwa niat baikmu tetap ada, walau tak dipahami siapa-siapa. Jangan mengunci hatimu, nak. Tetaplah mencintai umatmu. Tetaplah menyayangi kawanmu. Karena kasih sayang yang bertahan dalam luka, itulah cinta sejati. Rasulullah pernah difitnah, dilempar batu, bahkan oleh orang-orang yang dekat. Tapi beliau tidak pernah membalas dengan dendam. Karena beliau tahu: yang datang dari Allah pasti akan kembali kepada-Nya dengan kemuliaan. Jika hari ini engkau dipukul dengan kata, maka balaslah dengan akhlak. Jika hatimu runtuh, bangunlah ia kembali dengan sabar. Sebab di situlah nilai kepemimpinanmu diuji. Dan ingatlah, pemimpin yang besar tidak dibentuk oleh pujian—tetapi oleh luka, air mata, dan keteguhan hati. Buya hanya ingin kau tahu: Langit tak pernah meninggalkan orang yang terus menengadah. Berdoalah, nak. Dan terus berjalan. Karena esok, engkau akan melihat bahwa semua ini bukan beban, tapi jalan menuju kedewasaan ruhani. Dan jika tak ada tempat kau bersandar hari ini, bersandarlah di sajadahmu. Sebab Tuhan lebih dekat daripada semua sahabat yang kini menjauh. Nak, sebelum engkau melangkah kembali ke medan tugasmu, izinkan Buya menutup dengan satu nasihat: Jangan ukur dirimu dari berapa banyak orang yang memahamimu, tapi ukur dari seberapa teguh engkau menjaga kebenaran meski dalam sepi. Pemimpin sejati tak butuh sorak, cukup ridha Allah sebagai cahaya langkahnya. Jika suatu saat dunia terasa sunyi, ingatlah: Langit tak pernah sunyi dari doa orang-orang yang ikhlas. Dan Tuhan… tak pernah jauh dari hamba yang sabar. Berjalanlah, nak. Dengan sabar sebagai tongkat, doa sebagai bekal, dan cinta sebagai jalan. Karena engkau sedang menapaki jejak para pejuang. Dan setiap langkahmu, insyaAllah, akan menjadi saksi di hadapan-Nya. Buya doakan engkau selalu kuat, ikhlas, dan dicintai Tuhan."
0 Komentar