Pembodohan Sistematis : Mahasiswa INISNU Temanggung yang Terletak pada Zona Nyaman

Kampus semestinya menjadi taman intelektual dan dialektika. Lahan subur bagi tumbuhnya keberanian, perlawanan, empati, dan tanggung jawab sosial. Di sanalah mahasiswa seharusnya dibentuk, bukan sekadar pintar secara akademik, melainkan juga peka terhadap kebutuhan mahasiswa dan penderitaan di sekelilingnya. Namun hari ini realitas berbicara lain. Mahasiswa di INISNU Temanggung, yang dahulu pernah menjadi bagian penting dari denyut perubahan, perlawanan, kini lebih sibuk mengejar indeks prestasi dan sertifikat penghargaan daripada memperjuangkan hak-hak mahasiswa dan rakyat yang terus terkikis dan dirampas.

Kodrat mahasiswa sebagai agen perubahan telah terkikis perlahan. Kesadaran kritis digantikan dengan rutinitas akademik yang kering dan nurani dibalik tirani. Aksi-aksi kemanusiaan yang tak lagi penting menjadi panggilan jiwa, melainkan hanya dianggap sebagai gangguan dari target kuliah, organisasi formal, dan lomba lomba presisius yang membius.

Apakah kita sudah benar-benar sadar ?

Kita sedang menyaksikan proses pembodohan sistematis yang berjalan halus dan terorganisir di lingkungan kampus. Mahasiswa dijejali berbagi administrasi, dibanjiri agenda-agenda seremonial yang mematikan daya kritis, dan dibentuk menjadi generasi yang patuh pada sistem, bukan generasi yang berani menggugat keadilan. Ketika ada aksi menolak penindasan, yang hadir hanya segelintir. Selebihnya diam, takut, dan sibuk mencari dalih. Apakah ada dosen yang bertanya, “Apakah kamu berani menegakkan keadilan di kampus kita ini? dan bukankah diam sebagai bentuk persengkokolan?”

Namun ini bukan kesalahan mahasiswa semata. Sistem pendidikan yang tinggi pun turut menjadi aktor. Banyak lembaga kemahasiswaan justru menjauh dari perjuangan sosial. Mereka lebih mendorong kadernya naik ke panggung seminar, menyusun laporan, dan menyampaikan proposal ke institusi, daripada mengajak ke lapangan, mendengarkan jeritan mahasiswa dan rakyat dan merasakan langsung ketimpangan.

Budaya kampus hari ini mencetak mahasiswa yang lebih mirip robot birokrasi : cakap dalam menyusun laporan, mahir dalam membuat presentasi, tapi mati rasa terhadap realitas ketidakadilan. Nilai kemanusiaan dikalahkan oleh formalitas. Aktivisme dianggap radikal, dan kepedulian dianggap sebagai pengganggu sistem. Inilah wajah kampus kita hari ini, dingin, kaku, dan kehilangan arah perjuangan.

Saatnya sadar : Diam sama dengan bersekongkol.

Ini bukan hanya masalah kampus, tetapi juga masalah seluruh masyarakat di Temanggung. Mahasiswa INISNU harus sadar, menjadi cerdas saja tidak cukup. Kita bisa lulus dengan nilai terbaik, mendapat pekerjaan bergengsi, tapi jika kita memilih diam ketika rakyat digusur, petani tembakau kehilangan arah, jalanan plosok berlubang lubang, akses pendidikan dan kesehatan di Temanggung belum terpenuhi, anak-anak kehilangan masa depan, maka dari itu kalau kita diam termasuk menjadi bagian persengkokolan,ketidakadilan, dan menjadi penindas. 

Di mana mahasiswa yang dulu mengguncang jalan dengan idealisme dan bersuara? Perlawanan terhadap ketidakadilan tidak akan pernah datang dari mereka yang nyaman di balik meja birokrasi. Kita semua cuma perlu mengingat, untuk tenang dan selamat, kita hanya cukup diam. Akan tetapi untuk bermanfaat dan perubahan perlu perlawanan!

Mari bangkit bersama!

Kuingin kalian renungkan sebentar saja : pengalaman terbaik apa yang kau peroleh dari kegiatan kuliah? Dosennya yang imaginatif, gila, dan membuatmu antusias?Sudah cukup kita dibuai dengan perihal seperti itu. IPK memang penting, gelar akademik pun layak diperjuangkan, tapi semua itu akan hampa jika kita membiarkan kita, bahkan teman kita juga dan masyarakat terus tertindas. Jika kita diam, kita sedang mengkhianati peran sejarah mahasiswa sebagai penyambung lidah rakyat.

Saatnya bangkit, jangan hanya menjadi cerdas, jadilah juga yang bermakna. Jangan hanya jadi juara kelas ataupun organisasi, tapi juga jadi pembela di medan ketidakadilan. Karena sejatinya, keberpihakan pada kebenaran dan kemanusiaan adalah ukuran sejati dari pendidikan.

“Pernyataan para mahasiswa itu bukan suatu pernyataan politik, melainkan suatu pernyataan etik.”


Oleh : Imam Santoso

Posting Komentar

0 Komentar