Di institusi pendidikan tinggi, dosen seharusnya menjadi sosok inspiratif yang tidak hanya menyampaikan materi, tetapi juga membuka cakrawala berpikir mahasiswa melalui pengalaman, diskusi kritis, dan keterlibatan langsung dengan realitas di luar ruang kelas. Namun, tidak sedikit dari kita yang pernah, atau bahkan sedang mengalami situasi di mana dosen hanya datang ke kelas, berdiri di depan, dan berceramah selama dua jam penuh dengan gaya monoton yang jauh dari menggugah semangat belajar.
Lebih parahnya lagi, isi ceramah tersebut sering kali hanya berputar-putar pada teori lama yang sudah bisa dibaca sendiri oleh mahasiswa di buku atau internet. Tidak ada pembaruan. Tidak ada konteks kekinian. Tidak ada diskusi dua arah. Bahkan tidak jarang pula, sebagian besar waktu dihabiskan untuk basa-basi yang tidak relevan dengan topik. Entah itu cerita tentang masa muda dosen, komentar personal terhadap hal-hal di luar substansi, atau ocehan yang sebenarnya lebih cocok untuk obrolan santai di warung kopi daripada di ruang akademik.
Masalah utamanya bukan hanya pada metode ceramah satu arah yang membosankan, tetapi juga pada kurangnya pengalaman praktis dari sang dosen. Banyak dari mereka bicara panjang lebar tentang dunia kerja, tantangan industri, dinamika sosial, atau kebijakan publik, padahal mereka sendiri belum pernah benar-benar terjun langsung ke lapangan. Mereka menyampaikan teori tanpa pernah mengujinya. Mereka menjelaskan konsep tanpa tahu bagaimana ia bekerja di dunia nyata. Akibatnya, materi yang diajarkan menjadi kering, dangkal, dan tidak aplikatif.
Bagaimana mahasiswa bisa memahami dunia nyata jika panduan mereka sendiri hanya tinggal di menara gading kampus? Mahasiswa butuh perspektif yang aktual dan kontekstual, bukan sekadar penjelasan textbook yang bisa didapatkan dari video pembelajaran daring.
Tak dapat dipungkiri, ada perbedaan mencolok antara dosen yang pernah berkecimpung langsung di lapangan dan yang hanya mengandalkan referensi bacaan. Dosen yang terjun langsung bisa menceritakan tantangan, dilema, dan dinamika nyata yang tak tertulis di buku. Mereka bisa menjelaskan bagaimana sebuah teori bekerja atau gagal bekerja dalam praktik. Hal ini bukan hanya membuat perkuliahan menjadi lebih menarik, tetapi juga membekali mahasiswa dengan cara berpikir yang kritis dan realistis.
Namun, ketika dosen hanya menjadi "tukang baca slide" atau "penyampai teori klasik", maka peran pendidikan tinggi sebagai tempat pembentukan intelektual yang siap menghadapi dunia kerja menjadi tergerus. Mahasiswa menjadi korban dari sistem pengajaran yang stagnan. Mereka datang ke kelas, mencatat, lalu pulang tanpa benar-benar memahami relevansi dari apa yang dipelajari.
Ironisnya, sebagian dosen seperti ini merasa sudah cukup dengan "pengabdian" mereka di kelas, padahal sesungguhnya mereka sedang melestarikan kebosanan struktural dalam sistem pembelajaran. Mereka lupa bahwa pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, tapi juga soal pembentukan karakter, kreativitas, dan kemampuan adaptasi terhadap dunia nyata yang terus berubah.
Sudah saatnya institusi pendidikan mengevaluasi peran dosen secara lebih serius. Kualifikasi akademik memang penting, tetapi pengalaman lapangan juga harus menjadi bagian dari standar kualitas. Dosen perlu diberi dorongan dan kesempatan untuk turun langsung ke dunia kerja, melakukan penelitian terapan, berinteraksi dengan masyarakat, atau bahkan menjadi bagian dari proyek-proyek profesional di luar kampus.
Dengan demikian, mereka bisa kembali ke kelas dengan cerita yang nyata, dengan contoh yang aktual, dan dengan semangat yang segar. Bukan lagi sekadar ceramah membosankan yang membuat mahasiswa menghitung detik sampai kelas usai, tapi pembelajaran yang hidup dan bermakna.
Karena pada akhirnya, mahasiswa berhak mendapatkan ilmu yang nyata, bukan hanya narasi kosong dari dosen yang tak pernah keluar dari balik meja dan mikrofon.
Penulis: Pena Amerta
0 Komentar