Fenomena komersialisasi pendidikan di kampus ini menjadi sorotan tajam dari berbagai kalangan, khususnya mahasiswa sebagai pihak yang paling terdampak. Komersialisasi ini ditandai oleh berbagai kebijakan kampus yang berorientasi pada keuntungan finansial, seperti tingginya Uang Kuliah Tunggal (UKT), biaya tambahan di luar perkuliahan, hingga pengembangan unit usaha di lingkungan kampus. Namun, ironisnya, peningkatan biaya yang dibebankan kepada mahasiswa tidak selalu sejalan dengan kualitas pelayanan akademik, termasuk salah satu permasalahan mendasar yang sering dihadapi: ketidakhadiran dosen dalam jam perkuliahan.
Secara ideal, pendidikan tinggi seharusnya menjadi wadah untuk mentransformasikan pengetahuan dan membentuk karakter generasi intelektual bangsa. Dosen memegang peran sentral dalam proses ini sebagai fasilitator, pendidik, dan inspirator. Akan tetapi, dalam praktiknya, tidak sedikit dosen yang tidak hadir dalam perkuliahan tanpa pemberitahuan yang jelas, atau bahkan menghilang selama beberapa minggu dalam satu semester. Hal ini jelas merugikan mahasiswa, mengingat mereka telah membayar biaya pendidikan yang tidak sedikit dengan harapan mendapatkan hak pendidikan secara utuh dan bermutu.
Dalam konteks komersialisasi pendidikan, ketidakhadiran dosen menjadi ironi tersendiri. Mahasiswa diperlakukan sebagai "konsumen" yang diwajibkan membayar mahal untuk layanan pendidikan, tetapi tidak mendapatkan layanan sesuai standar. Dalam dunia bisnis, jika konsumen tidak menerima produk atau jasa yang dijanjikan, maka akan ada mekanisme pengaduan atau kompensasi. Sayangnya, dalam lingkungan akademik, mekanisme pertanggungjawaban semacam itu masih sangat lemah. Mahasiswa sering kali tidak memiliki ruang yang cukup kuat untuk menyampaikan keluhan terkait kualitas pengajaran dosen tanpa risiko stigmatisasi atau pembalasan akademik.
Fenomena ini diperparah oleh sistem manajerial kampus yang dalam banyak kasus justru turut memperkuat logika komersial. Dosen-dosen sering kali lebih disibukkan oleh proyek-proyek luar, kegiatan konsultasi, atau penelitian yang didanai pihak ketiga, yang menjanjikan imbalan finansial lebih besar dibanding mengajar di kelas. Tak jarang, kegiatan-kegiatan tersebut justru mengorbankan tanggung jawab utama mereka sebagai pengajar. Dalam beberapa kasus, dosen bahkan memindahkan kelas secara daring tanpa sistematisasi yang jelas, hanya untuk mengejar efisiensi waktu pribadi mereka.
Masalah ini bukan hanya berdampak pada hilangnya hak belajar mahasiswa, tetapi juga pada kualitas lulusan yang dihasilkan. Tanpa bimbingan yang konsisten dari dosen, mahasiswa terpaksa belajar secara otodidak atau bergantung pada sumber-sumber yang tidak terstruktur. Akibatnya, kemampuan analisis, pemahaman teoretis, hingga sikap kritis yang seharusnya tumbuh dalam lingkungan akademik menjadi terhambat. Hal ini berpotensi menciptakan lulusan yang kurang kompeten dan tidak siap menghadapi tantangan dunia profesional.
Oleh karena itu, perlu adanya evaluasi menyeluruh terhadap praktik komersialisasi pendidikan yang mengabaikan esensi pembelajaran itu sendiri. Kampus sebagai institusi penyelenggara pendidikan wajib menjamin bahwa setiap dosen menjalankan tugasnya secara profesional dan bertanggung jawab. Transparansi dalam sistem evaluasi dosen, penguatan mekanisme pengaduan mahasiswa, serta penegakan sanksi yang tegas terhadap dosen yang melalaikan kewajibannya perlu diterapkan secara konsisten.
Sebagai mahasiswa, kami tidak menolak kemajuan atau upaya kemandirian kampus secara finansial. Namun, kami menuntut agar pelayanan akademik tetap menjadi prioritas utama. Pendidikan bukan sekadar transaksi ekonomi, melainkan hak konstitusional yang seharusnya dijamin kualitas dan integritasnya. Ketidakhadiran dosen di dalam kelas bukan sekadar persoalan teknis, tetapi cerminan dari krisis etika dan profesionalisme dalam dunia akademik yang telah terjebak dalam arus komersialisasi.
Namun, di tengah tingginya kuliah dan minimnya transparansi keuangan, wajar bila timbul pertanyaan dari kalangan mahasiswa, ke mana sebenarnya aliran dana pendidikan tersebut? Apakah seluruh dana digunakan sepenuhnya untuk kepentingan akademik dan operasional kampus, atau justru ada penyalahgunaan? Lebih jauh lagi, apakah pihak rektorat atau kampus yang berada di bawah naungan yayasan tertentu sedang—secara sadar atau tidak—melakukan praktik penggelapan dana biaya?
Pertanyaan ini bukan tuduhan, tetapi bentuk keprihatinan dan kecurigaan yang lahir dari ketimpangan antara kewajiban mahasiswa dan tanggung jawab institusi. Sudah saatnya pengelolaan kampus diawasi lebih ketat, demi menjamin keadilan dan mutu pendidikan yang sejati.
Penulis: Pena Amerta
0 Komentar