Lima Luka di Dada Ibu Pertiwi

Di atas tanah yang subur, di bawah langit biru yang luas, Pancasila pernah tumbuh gagah menjadi dasar negara, penuntun arah, dan pengikat keberagaman. Ia lahir bukan dari ruang hampa, tetapi dari pergulatan panjang para pendiri bangsa yang ingin membangun rumah besar bernama Indonesia, tempat semua anak bangsa hidup berdampingan dalam damai.

Namun kini, Pancasila tampak letih. Ia batuk-batuk di tengah hiruk pikuk egoisme. Ia sesak napas oleh polusi kebencian yang menyebar lewat media sosial. Ia terbaring lemah, disisihkan dari ruang-ruang pengambilan keputusan, digantikan oleh kepentingan golongan, ambisi pribadi, dan pragmatisme kekuasaan.

 Ketuhanan yang Maha Esa mulai diselewengkan menjadi alat untuk menghakimi, bukan untuk mempersatukan. Orang saling mencaci atas nama Tuhan, seakan kebenaran hanya milik satu kelompok saja.

 Kemanusiaan yang adil dan beradab tercoreng ketika anak kecil masih memikul beban kemiskinan, sementara para koruptor tersenyum di ruang pengadilan. Di layar kaca, tangisan ibu-ibu tak terdengar oleh telinga yang telah tuli oleh kekuasaan.

 Persatuan Indonesia terbelah oleh fanatisme sempit: agama melawan agama, suku melawan suku, bahkan dalam satu rumah pun bisa pecah karena perbedaan pilihan politik. Kita lupa merah dan putih tidak akan berarti tanpa satu kata bersama.

  Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan berubah menjadi sandiwara demokrasi. Suara rakyat dibeli, dijual, ditukar. Kebenaran tenggelam dalam suara mayoritas yang dibentuk oleh uang, bukan oleh nurani.

  Dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia masih terdengar seperti mimpi yang terlalu indah untuk jadi nyata. Ketimpangan makin lebar. Yang kaya makin kuasa, yang miskin makin tak bersuara.

Pancasila tidak mati. Tapi ia sedang sakit terluka oleh kelalaian kita sendiri sebagai bangsa Indonesia.


Oleh : Yakmuro

Posting Komentar

0 Komentar