Anak yang Menyulam Cahaya

Di antara buku-buku yang lusuh dan mimpi yang retak,

seorang anak berjalan perlahan,

membawa beban yang tak terlihat oleh mata manusia.

Ia belajar bukan hanya demi ilmu,

tetapi untuk menyembuhkan hidup

yang sering mengujinya sebelum ia siap.


Ekonomi menggigit tumitnya

seperti angin dingin yang memohon pintu untuk dibuka.

Keluargannya adalah rumah yang kadang hangat,

kadang retak oles suara-suara yang tak selesai.

Dan cinta…

ah, cinta meninggalkannya seperti daun yang ragu

antara jatuh atau Kembali pada rantingnya.


Namun anak itu tetap melangkah---

Karena ia tahu bahwa harapan

adalah sebutir benih yang hanya tumbuh

di tanah yang dilunakkan oleh air mata.


Ia berkata kepada malam:

“Beri aku sedikit kekuatan

untuk menghadapi hari esok.”

Dan malam menjawab lembut:

“Aku tak memberimu kekuatan,

tetapi kuberi kau kesunyian

agar kau dapat menemukannya sendiri.”

Ketika keluarga menuntutnya menjadi penyangga,

ketika dompetnya kosong seperti ladang di musim kemarau,

ketika cintanya layu sebelum mekar,

ia tetap percaya bahwa Tuhan

menyembunyikan hikmah di balik setiap luka—

seperti matahari yang menyembunyikan cahaya

di balik awan yang paling kelam.


Maka ia terus berjalan,

meski langkahnya gemetar,

meski dunia seolah menutup semua pintu.


Dan pada suatu hari nanti,

ketika ia berdiri di puncak yang diperjuangkannya,

ia akan berkata kepada angin:

“Lihatlah…

Inilah diriku yang ditempa oleh kekurangan,

dikuatkan oleh keluarga yang retak,

dan didewasakan oleh cinta yang tak jadi pulang.”


Sebab anak itu akhirnya mengerti—

bahwa perjuangan bukanlah kutukan,

melainkan sayap yang ditempa

agar ia terbang lebih tinggi

daripada mereka yang hidup tanpa melalui badai.


Pena Amerta.

Temanggung, 10 Desember 25.


Posting Komentar

0 Komentar