Dalam panggung kehidupan, kita sering menjadi pemeran utama dalam cerita yang sepi penonton. Ketika kita masih berjalan tertatih di lorong gelap perjuangan, dunia terasa sunyi. Tak ada tepuk tangan, tak ada sorakan, bahkan sekadar pelukan pun sering tak datang. Kita seperti lilin kecil di tengah badai, berjuang untuk tetap menyala, meski nyaris padam oleh angin dingin ketidakpedulian. Saat itu, wajah-wajah yang dulu ramah berubah menjadi tembok tanpa jendela. Kata-kata kita hanyalah bisikan yang tertelan angin, tak didengar, tak dianggap. Kita menjadi hening di tengah keramaian, bagai burung yang bernyanyi di malam hari—indah, tapi diabaikan. Namun, ketika matahari kesuksesan mulai terbit dari ufuk usaha, mendadak dunia menjadi hangat. Tangan-tangan yang dulu menghilang, kini berebut menggenggam. Senyum-senyum bermekaran seperti bunga liar setelah hujan. Kita dipuji, diagungkan, bahkan dilukis indah oleh lidah-lidah yang dulunya kelu. Seolah-olah kesuksesan adalah magnet, dan mereka adalah logam yang selama ini tersembunyi. Tapi, jangan cepat terlena. Karena tak semua yang datang membawa cinta, sebagian hanya pemburu cahaya. Mereka bukan datang karena kita, tapi karena sinar yang kini kita bawa. Dan ketika sinar itu padam, mereka pun bisa kembali menjadi bayangan yang hilang ditelan gelap.Maka, berjalanlah dengan hati yang waspada. Simpan baik-baik siapa yang pernah tinggal saat dunia meninggalkan. Karena merekalah yang layak duduk di barisan depan saat panggung kemenanganmu gemuruh.
Ingatlah, hidup ini bukan hanya tentang siapa yang datang saat kamu bersinar, tapi siapa yang tetap tinggal saat kamu hanya redup cahaya.
Oleh: Yakmuro
0 Komentar