Pendidikan tinggi seharusnya menjadi arena kebebasan akademik, tempat ilmu pengetahuan tumbuh subur tanpa intervensi kekuasaan non-akademik. Namun, kenyataan di lapangan sering kali jauh dari idealisme tersebut. Di balik dinding-dinding megah institusi pendidikan, tersembunyi dinamika kekuasaan yang tidak terlihat oleh publik. Salah satu bentuknya adalah dominasi yayasan terhadap kampus — dominasi yang bukan hanya mengatur arah kebijakan, tapi juga membungkam suara-suara independen di dalamnya.
Banyak kampus swasta di Indonesia berada di bawah naungan yayasan, dan memang secara struktural hal ini sah-sah saja. Yayasan biasanya berperan sebagai badan hukum yang menaungi kampus secara administratif dan finansial. Namun, yang menjadi persoalan adalah ketika yayasan tidak sekadar menjadi penyokong, tetapi berubah menjadi penguasa absolut. Semua keputusan penting — dari pengangkatan pejabat struktural hingga kebijakan akademik — ditentukan oleh segelintir orang di dalam yayasan, sering kali tanpa melibatkan atau mempertimbangkan suara civitas akademika.
Yang lebih tragis adalah ketika tokoh-tokoh ternama di dalam kampus, entah itu rektor, wakil rektor, atau dekan, hanya dijadikan sebagai boneka formal belaka. Mereka dipasang karena nama besar mereka, kredensial akademiknya, atau sekadar untuk menjaga citra institusi. Namun, realitasnya, mereka tidak memiliki kuasa nyata dalam menentukan arah kebijakan kampus. Mereka sekadar menjalankan instruksi dari atas, tak lebih dari simbol yang dipajang untuk meredam kritik publik dan meyakinkan mahasiswa serta dosen bahwa sistem berjalan baik-baik saja.
Hal ini bukan hanya merugikan mereka secara pribadi, tetapi juga mencederai semangat akademik secara keseluruhan. Bagaimana mungkin seorang rektor bisa menjadi pemimpin akademik yang visioner jika segala langkahnya diawasi dan dibatasi oleh yayasan? Bagaimana kampus bisa tumbuh menjadi lembaga pendidikan yang mandiri jika semua keputusan diambil oleh pihak luar yang tidak memiliki kompetensi akademik?
Di sisi lain, para tokoh ini pun berada dalam posisi dilematis. Sebagian dari mereka mungkin sadar bahwa mereka sedang dijadikan boneka. Namun karena tekanan jabatan, kenyamanan posisi, atau sekadar ketakutan akan kehilangan kekuasaan, mereka memilih diam. Mereka tetap tersenyum di depan publik, menghadiri seremoni-seremoni resmi, dan menyampaikan pidato-pidato normatif — seolah semuanya berjalan baik. Padahal, mereka tahu bahwa tangan mereka terikat dan suara mereka dibungkam.
Situasi ini semakin memperparah budaya diam di kalangan civitas akademika. Dosen dan mahasiswa yang mencoba kritis dianggap membangkang. Organisasi mahasiswa diawasi ketat. Diskusi ilmiah yang menyentuh hal-hal sensitif bisa dibubarkan dengan dalih ketertiban kampus. Akibatnya, kampus berubah menjadi institusi yang penuh kepalsuan: tampak megah di luar, namun keropos di dalam.
Sudah waktunya kita berbicara. Sudah saatnya kita menyoroti relasi kekuasaan yang tidak sehat ini. Yayasan memang penting, tetapi perannya seharusnya mendukung, bukan mengendalikan. Figur-figur akademik yang memiliki integritas harus berani bersuara atau mundur jika memang tidak bisa menjalankan peran mereka dengan utuh. Diam hanya akan memperpanjang ilusi dan membiarkan generasi muda tumbuh dalam sistem yang mematikan idealisme.
Pendidikan tinggi bukan panggung sandiwara. Kampus bukan tempat bagi boneka-boneka yang dikendalikan oleh benang kekuasaan. Jika kita masih percaya bahwa pendidikan adalah jalan menuju peradaban, maka kita harus melindungi kampus dari kekuatan-kekuatan yang berusaha mereduksi maknanya menjadi sekadar alat politik dan bisnis.
Penulis: NON SERVIAM
0 Komentar