Panggung Bukan Tempat Kebenaran
Oleh: Demos Minoris
Beberapa hari lalu, beredar sebuah tulisan yang memicu perbincangan di antara para mahasiswa. Tulisan itu menyentuh nadi kekuasaan yang ditulis secara anonim dan memantik berbagai reaksi yang bahkan ada yang berlebihan. Bukan karena makian, bukan karena fitnah melainkan karena membawa sesuatu yang lebih berbahaya dari itu, yakni pikiran kritis dan jernih. Tulisan itu mengkritik, bukan membenci ataupun memaki. Bukan pula menjerumuskan atau menjatuhkan. Namun sayangnya berbagai respon dan multi-interpretasi khususnya yang negatif terhadap tulisan ini memicu ekspresi yang berlebihan. Harapannya atas tulisan tersebut adalah memantik dan menghidupkan pemikiran kritis dan jernih. Anehnya, respon yang dilontarkan justru memunculkan sebuah tantangan: "kalau berani!, kalau punya nyali! ayo dialog secara terbuka!".
Dialog? Atau pertunjukan?
Diumumkan pula bahwa sebuah forum akan digelar. Semua lapisan masyarakat akan diundang baik yang mendukung, menjunjung dan orang-orang yang katanya oposisi. Kata ini terdengar lucu, mengingat bahwa oposisi merupakan minoritas yang rentan bahkan bukan merupakan barisan panjang yang siap tempur. Melainkan sebuah serpihan kecil dalam ruang-ruang yang sepi. Melihat kondisi ini, secara nalar kita dapat bertanya, sejak kapan perbedaan pendapat dikalangan para mahasiswa diposisikan layaknya sebuah pemberontakan terhadap seorang raja? Apakah hanya di lingkungan kita saja? Jangan-jangan di lingkungan mahasiswa lain sangat berbeda.
Sebuah anonim dan alpanya kehadiran bukan indikasi dari rasa takut. Ketidakmunculan tidak menjadi simbol kekalahan. Akan tetapi saya sangat menyadari bahwa panggung bukanlah merupakan arena kebenaran. Realita yang kerap kita lihat dalam pergumulan sosial kerap kali mengandung bias kebenaran. Kebenaran diukur dari siapa yang paling nyaring dialah yang menjadi pemenang. Siapa yang paling banyak sorak-sorai dan tepuk tangan dialah yang tampak benar. Akan tetapi sangat disayangkan. Kebenaran tidak bekerja seperti itu. Kebenaran tidak butuh sorotan lampu. Tidak butuh pula akan sebuah yel-yel. Kebenaran lahir dalam diam dan tumbuh melalui kejujuran berpikir.
Tetapi tampaknya, untuk saat ini kejujuran dianggap lemah. Ironisnya, berpikir diam-diam dianggap sebagai pengecut. Barang kali lebih menyukai suara sorak-sorai meski kosong daripada mereka yang diam tapi tajam. Saya menulis karena ada rasa kepedulian. Saya memberi kritik karena ada sesuatu yang harus diperbaiki. Namun sangat disayangkan. Dan saya sungguh teramat menyayangkan atas respon dan pertanyaan aneh: apa jasa anda? di mana anda selama ini? Dari pertanyaan tersebut dapat disiratkan seolah-olah orang yang tercatat dalam presensi yang berhak berbicara. Atau barangkali kontribusi itu dianggap sah jika bisa dipamerkan di baliho. Atau sebuah kebingungan membedakan antara jasa dan kewajiban.
Jabatan sejatinya merupakan sebuah amanah dari rakyat. Dan jikalau ada kritik yang muncul atas rakyat akankah kritik tersebut dianggap sebuah ancaman?. Saya kira sangat keliru apabila mengatakan bahwa tugas adalah sebuah prestasi dan kritik dinilai sebagai duri. Memimpin adalah sebuah tanggung jawab, bukan sebuah trofi. Kritik juga bukan merupakan penyakit, akan tetapi sebuah vitamin. Dengan tulus, saya ingin mengatakan, beranilah untuk mendengarkan. Beranilah untuk menerima kritik, bukan mencari siapa yang dikorbankan.
Saya tidak mencari panggung. Saya juga tidak memburu kekuasaan. Justru karena alasan itu saya bertahan untuk tetap anonim. Karena saya punya harapan besar yakni gagasan bukan dinilai dari siapa yang mengatakannya. Akan tetapi gagasan dinilai dari isinya. Dalam syair Jawa dikatakan "nadyan metu saking wong sudra papeki". Tetapi barangkali bagi mereka yang terbiasa berbicara di podium, ungkapan ini sulit dimengerti. Mungkin mereka terbiasa dihormati dulu, baru didengarkan. Mereka ingin saya tampil bukan untuk dialog tetapi untuk dipajang dan diadili dalam forum teatrikal-gladiatorisme. Lebih ngerinya kalau ujung-ujungnya adalah pembungkaman oleh sorak-sorai dan tepuk tangan mayoritas.
Dari berbagai respon yang ada, lucunya ada yang menganggap kritikan sebagai umpatan dan menganggap hipotesis sebagai hinaan. Secara implisit mengatakan seolah-olah bahwa berpikir berbeda merupakan sebuah tindakan kriminal. Atau mengajukan beberapa kemungkinan lain sebagai bentuk pembangkangan. Saya ingatkan, kampus bukan ruang suci untuk satu tafsir. Perbedaan pendapat seharusnya menumbuhkan kemajuan bukan untuk dihakimi. Ingatlah Copernicus, Gallileo dan para tokoh lainnya yang menjadi korban atas perbedaan pendapat. Seharusnya kita bisa berkaca dari sejarah. Ironisnya jika ada seseorang yang menolak tulisan tersebut karena dianggap menciderai justru menulis panjang lebar dengan esensi eksplisit menolak perbedaan pendapat. Boleh saja jika berbicara mengenai demokrasi. Itu hak setiap orang. Namun jangan alergi terhadap kritik.
Satu hal yang ingin saya luruskan. Tulisan saya bukanlah oposisi. Juga bukan merupakan perlawanan. Namun saya hanyalah pengamat. Seorang mahasiswa biasa yang melihat fenomena dan mengajukan tanya. Saya tidak berniat menggulingkan siapa pun. Saya hanya menaruh harapan besar pada mahasiswa untuk mengingat kembali bahwa ruang kampus adalah ruang pemikiran bukan panggung pertunjukan.
Biarkanlah saya menepi. Biarkanlah saya tetap sunyi. Karena dalam sejarah peradaban, Suara yang mengubah dunia justru berasal dari lorong-lorong kesunyian yang tak selalu terdengar keras tetapi paling jernih. Lihat saja Marx, Adam Smith, Russell, Immanuel Kant dan lain-lain. Saya percaya bahwa kebenaran tidak perlu disorot namun cukup diperjuangkan saja. Kritik saya bukan soal pribadi. Saya mengkritik sebuah sistem yang berjalan bukan ad hominem. Tetapi apakah atas kritik tersebut memicu rasa terusik di kalangan mereka? Saya tidak mengerti.
Saya tidak menyuarakan dendam. Saya hanya menyuarakan supaya ada kejujuran. Saya hanya mengajak untuk berpikir kembali. Jika hal-hal sedarhana seperti kritik dan saran dianggap sebagai sebuah ancaman. Maka ada pandangan keliru yang mestinya harus diluruskan. Jangan sampai kita membangun tembok di tempat yang seharusnya jendela.
Saya hanya ingin menjadi bagian kecil dari upaya menjaga kejernihan intelektual di ruang yang kita sebut sebagai kampus yang idealnya dan sudah seharusnya pemikiran tidak dibatasi oleh loyalitas. Saya tidak menuntut untuk disetujui, hanya saja berharap didengarkan. Semoga dengan riuhnya perdebatan ini, kita tidak kehilangan arah.
Salam dan hormat kepada orang-orang yang jernih dalam berfikir.
EI- Demos Minoris
0 Komentar