Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan yang sangat signifikan dalam perkara pengujian Undang-Undang IKN, memenangkan gugatan yang diajukan oleh perwakilan Masyarakat Adat Dayak dan seorang warga negara yang merasa dirugikan. Putusan ini secara efektif membatalkan potensi hak penguasaan lahan hingga 190 tahun di wilayah Ibu Kota Nusantara dan memperkuat kontrol negara atas tanah.
Akar Permasalahan: Hilangnya Hak Adat dan Ketidakadilan
Permohonan ini diajukan oleh Stepanus Febyan Babaro (Ketua Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat) dan Ronggo Warsito. Pemohon I mewakili inisiatif Masyarakat Adat Dayak karena meyakini bahwa berlakunya jangka waktu super panjang untuk Hak Guna Usaha (HGU) 190 tahun, Hak Guna Bangunan (HGB) 160 tahun, dan Hak Pakai (HP) 160 tahun sangat berpotensi menyebabkan konflik berkepanjangan, penyerobotan tanah adat, dan hilangnya hak-hak ulayat. Data AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) turut dilampirkan, menyebutkan sedikitnya 20.000 jiwa masyarakat adat terancam akibat proyek ambisius di Kalimantan Timur ini.
Kerugian konstitusional juga dialami oleh Pemohon II (Ronggo Warsito), yang hanya diberikan Hak Pakai 10 tahun (Sertifikat Hak Pakai Nomor 00153) untuk tanahnya, sementara investor lain diberikan jangka waktu 80 tahun, menimbulkan kesan perlakuan tidak adil oleh Pemerintah.
Kontroversi "Satu Siklus" Bertentangan dengan Konstitusi
Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 16A ayat (1), (2), dan (3) UU IKN memiliki kesamaan substansi dengan Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal dalam UU Penanaman Modal sebelumnya, yang memungkinkan pemberian hak atas tanah "di muka sekaligus" (contohnya HGU 95 tahun) telah dinyatakan bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 oleh Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007.
Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa norma Pasal 16A yang mengatur pemberian HAT melalui "1 (satu) siklus" dan memungkinkan pemberian "1 (satu) siklus kedua" menimbulkan norma yang ambigu dan berpeluang disalahartikan. Meskipun terdapat ketentuan tentang evaluasi, norma pokok "satu siklus" dinilai sama dengan memberikan batasan waktu sekaligus di muka. Hal ini dianggap inkonstitusional karena secara substansi melanggar preseden yang sudah ditetapkan MK dalam Putusan Nomor 21-22/PUU-V/2007 (terkait UU Penanaman Modal). Menurut MK, pemberian hak sekaligus tidak sejalan atau memperlemah posisi negara dalam menguasai HAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945
Keputusan MK: Lahan IKN Wajib Bertahap dan Dievaluasi
Untuk mengakhiri ambiguitas dan ketidakadilan tersebut, MK memutuskan norma Pasal 16A inkonstitusional bersyarat. MK mewajibkan agar HAT diberikan secara bertahap dan bukan sekaligus.
Skema jangka waktu HAT di IKN yang kini wajib diterapkan adalah:
• HGU (maksimum 95 tahun): Diberikan 35 tahun, Perpanjangan 25 tahun, dan Pembaruan 35 tahun.
• HGB (maksimum 80 tahun): Diberikan 30 tahun, Perpanjangan 20 tahun, dan Pembaruan 30 tahun.
• Hak Pakai (maksimum 80 tahun): Diberikan 30 tahun, Perpanjangan 20 tahun, dan Pembaruan 30 tahun.
Semua perpanjangan dan pembaruan hak wajib didasarkan pada kriteria dan tahapan evaluasi. Putusan ini memastikan bahwa pengawasan dan kontrol negara (Otorita IKN) secara periodik tetap berjalan, sekaligus menjamin bahwa hak-hak konstitusional masyarakat adat tidak dikorbankan demi kepentingan penanaman modal jangka panjang yang tidak terkontrol.
Kedaulatan Tanah di IKN Terselamatkan! MK Cabut Hak Lahan Investor Hingga 190 Tahun
Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan Putusan yang sangat signifikan dalam perkara pengujian Undang-Undang IKN. Putusan ini memenangkan gugatan yang diajukan oleh perwakilan masyarakat Adat Dayak dan seorang warga, serta secara efektif membatalkan potensi hak penguasaan lahan hingga 190 tahun di wilayah Ibu Kota Nusantara dan memperkuat kontrol negara atas tanah.
Akar Permasalahan: Hilangnya Hak Adat dan Ketidakadilan
Permohonan ini diajukan oleh Stepanus Febyan Babaro (Ketua Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Barat) dan Ronggo Warsito. Pemohon I mewakili inisiatif Masyarakat Adat Dayak karena meyakini bahwa berlakunya akumulasi jangka waktu super panjang (HGU 190 tahun, HGB 160 tahun, dan Hak Pakai 160 tahun) sangat berpotensi menyebabkan konflik berkepanjangan, penyerobotan tanah adat, dan hilangnya hak-hak ulayat. Data AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) turut dilampirkan, menyebutkan sedikitnya 20.000 jiwa masyarakat adat terancam. Kerugian konstitusional juga dialami oleh Pemohon II (Ronggo Warsito) yang hanya diberikan Hak Pakai 10 tahun, menimbulkan kesan perlakuan tidak adil oleh Pemerintah.
Kontroversi "Satu Siklus" Bertentangan dengan Konstitusi
Para Pemohon mendalilkan bahwa Pasal 16A UU IKN memiliki kesamaan substansi dengan Pasal 22 ayat (1) UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang telah dinyatakan inkonstitusional oleh Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007. Dalam pertimbangan hukumnya, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menjelaskan bahwa norma Pasal 16A yang mengatur pemberian HAT melalui "1 (satu) siklus" dan "1 (satu) siklus kedua" menimbulkan norma yang ambigu. MK menilai pemberian hak sekaligus tidak sejalan atau memperlemah posisi negara dalam menguasai HAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Keputusan MK: Lahan IKN Wajib Bertahap dan Dievaluasi
Untuk mengakhiri ambiguitas dan ketidakadilan tersebut, MK memutuskan norma Pasal 16A inkonstitusional bersyarat. MK mewajibkan agar HAT diberikan secara bertahap dan bukan sekaligus. Skema jangka waktu HAT di IKN yang kini wajib diterapkan adalah:
• HGU (maksimum 95 tahun): Diberikan 35 tahun, Perpanjangan 25 tahun, dan Pembaruan 35 tahun.
• HGB (maksimum 80 tahun): Diberikan 30 tahun, Perpanjangan 20 tahun, dan Pembaruan 30 tahun.
• Hak Pakai (maksimum 80 tahun): Diberikan 30 tahun, Perpanjangan 20 tahun, dan Pembaruan 30 tahun.
Semua perpanjangan dan pembaruan hak wajib didasarkan pada kriteria dan tahapan evaluasi. Putusan ini memastikan pengawasan dan kontrol negara secara periodik tetap berjalan, sekaligus menjamin hak-hak konstitusional masyarakat adat tidak dikorbankan demi kepentingan modal.
0 Komentar