Tulisanku bukanlah puisi.
Ia adalah rentetan abjad yang tersusun rapi.
Jangan pula kau mengira bahwa aku hanyalah penyair kuno dengan ungkapan-ungkapan yang sulit dipahami.
Membacalah kalian Maha Idealis, Maha Pelajar.
Agar kalian mampu memahami bahasa yang aku tulis.
Supaya jiwa-jiwa kalian merenung dengan seteguk anggur puisi.
DUHAI, betapa menderitanya manusia idealis. Keringat mengalir di kening dan darah-darah di hatinya. Ia persembahkan buah keletihan dan hasil jerih payah pada mimpi dan prinsip-prinsip yang luhur. Namun sayang bahwa kehidupan seringkali tidak berpihak pada para idiealis, karena serigala-serigala yang pekat hatinya, telah merobek-robek dan menggigit mimpi yang luhur dengan taringnya yang tajam, kemudian para idealis mereka akan mati seperti sebatang mayat di antara liang-liang kehidupan. Saudaraku, manusia yang pekat hatinya ia tidak mampu mendengarkan simfoni jiwa, telinganya hanya sibuk mendengarkan suara orang-orang di sekitarnya dan memamerkan ungkapan seorang bijak terdahulu tanpa melihat realita. Ia lebih suka mengarahkan hatinya pada ungkapan-ungkapan kuno untuk gebyar-gebyar harga diri dengan dalih-dalih oposisi, yang dapat membutakan mata hingga tidak dapat memandang rahasia kehidupan. Padahal orang yang mudah memperlihatkan kecintaan ataupun kebencian pada benda ataupun orang lain, pasti akan menyesal kemudian (Kahlil Gibran)
Sungguh orang yang sakit ialah orang yang memandang kebenaran hanya dari sorot matanya, padahal kebenaran, tidak bisa dilihat hanya dari satu sudut pandang. Tercerahkanlah orang-orang kolot dan dimabukan tuak sehingga tulisannya menjadi penyakit yang menjakiti manusia-manusia yang lugu hatinya. Pengkhianat yang mengabdikan dirinya pada nilai-nilai luhur tapi memotong dengan kampak tiang-tiangnya. Dia yang percaya pada keadilan tapi buta terhadap realita. Sungguh ironis, telah gelap jiwanya. Dia mencela teman sebayanya atas kebenaran buta, bukankah membuat teman sebaya bersedih hatinya adalah sebuah tindak kejahatan? Demikianlah, ia yang bersedih hatinya telah terluka dan tersayat, sehingga gelap matanya mulai menjangkiti kebenaran-kebenaran di jiwanya.
"Di bumi tembakau, aku melihat putra gubernur baru bangun dari tidurnya. Ia menggenakan jas merah, rambutnya diperciki minyak misik, tubuhnya dilumuri kasturi. Ia berjalan menuju taman istana ibunya, mencari seorang teman. Tetesan embun di atas rumput yang indah membasahi pakainnya. Namun aduh! Di antara kejayaan ibunya, tidak ada seorang pun yang mencintainya."
Setelahnya aku merenungkan keadaan putra Gubernur yang menyedihkan itu, jiwaku mengingatkanku dengan mengatakan, ''Bukankah lebih baik baginya menjadi seorang anak petani sederhana, yang mengembalakan kawanan domba ibunya menuju padang rumput, dan membawanya kembali ke kandang di sore hari, dengan keharuman bumi dan kebun anggur dalam pakaian gembalanya yang kasar? Paling tidak dia melakukan sebuah tindakan dibanding hanya bergumam dengan ungkapan yang menyakiti sahabatnya."
Sang bajik berkata: "Kehidupan adalah sebuah pulau di tengah-tengah samudra kesendirian, sebuah pulau yang batu-batunya adalah harapan, yang pohon-pohonya adalah impian, dan yang alurnya adalah kehausan."
Kehidupan kalian, wahai Al-Muhtada, adalah sebuah pulau yang terpisah dari seluruh pulau dan wilayah yang lain. Tidak peduli berapa banyak kapal yang meninggalkan pantai kalian. Kalian tetap tinggal di pulau terpencil merasakan pedihnya penderitaan, sakitnya kesendirian, dan merindukan kebahagiaan. Kalian tidak dikenal oleh pengikut kalian. Jauh terpisah dari rasa simpati dan pengertian mereka.
Sahabatku, aku telah melihat kalian duduk di atas bukit emas kegembiraan, di atas singgasana kalian. Kalian begitu bangga dengan warisan-warisan yang kalian miliki, kemudian meng-agamakannya dalam kepercayaan kalian, sehingga setiap emas yang kalian miliki ditimbun menjadi sebuah rantai yang tak tampak, yang menggabungkan keinginan-keinginan dan pemikiran-pemikiran orang lain yang kalian miliki.
Aku telah melihat kalian dengan mata hatiku, bahwa kalian adalah seorang penahluk agung yang memimpin pasukan, yang bermaksud menghancurkan benteng-benteng musuh kalian. Tetapi aku melihat lagi, aku hanya melihat hati yang kesepian, yang merana di belakang peti simpanan emas kalian, seekor burung yang kehausan dalam sangkar emas, dengan baki airnya yang kosong.
Aku telah melihat kalian, wahai sahabatku, duduk di atas singgasana kemuliaan, dan orang-orang kalian berdiri mengelilingi kalian dengan menyebut kalian dengan sebutan “ketua” sambil memuji perbuatan-perbuatan kalian yang agung, memuji kebijaksanaan kalian dan melihat kalian seperti sang nabi, ruh-ruh mereka bersuka ria bahkan sampai ke kanopi surga.
Tetapi ketika aku melihat lagi, aku menemukan kalian sendiri dalam kesepian, berdiri membentangkan tangannya ke segala arah, seolah memohon belas kasihan dan kebaikan dari hantu-hantu yang tak tampak sambil memohon tempat perlindungan, yang tidak lain hanyalah kehangatan dan keramahan. Kehidupan ruh kalian, wahai sahabatku, diliputi oleh kesepian, bukan karena kesendirian dan kesunyian, kalian tidak akan dapat menjadi kalian, dan aku tidak akan dapat menjadi aku. Maka tanam kan cinta di jiwa kalian, bukan karena kesepian dan kesunyian, namun karena demikianlah air dahaga dari sungai kehidupan.
Para Maha Idealis adalah saudara, bukan secara biologis melalui ayah dan kakek moyang mereka, namun secara idelogi atas dasar kebenaran yang hak dan nilai-nilai luhur, yang di pupuk dengan cinta dan dibesarkan dengan perjuangan peluh keringat air mata. Kepercayaan itulah yang mengalir menjadi darah dan sungai bagi jiwa. Dan jika saja saudaranya telah mencampakan ideloginya maka sama saja dia mengiris nadi suadaranya. Demikianlah sang pengkhianat dia akan mati dalam kesendirian dan terkubur oleh liang-liang caci maki dan sakit hati. Demikianlah, demikianlah akhir hidup sang pecundang.
Oleh: G Jagad, Litera Progresif.
0 Komentar